|
Illustrasi- sungkem- (dokpri) |
Ramadhan baru saja menjejak di bumi, puasa juga belum tuntas
sehari dijalani. Lelaki muda berbadan kerempeng, menyusuri jalan Slompretan
Surabaya. Bangunan tua kokoh peninggalan Belanda, megah bercat putih kusam dan
terkesan angker. Kelak akan menjadi saksi perjalanan, pria sederhana berbakti
pada orangtua.
Bulan ini baru genap setahun mengabdi, di sebuah gudang karpet dan gorden. Artinya ini adalah Ramadhan
pertama, berstatus sebagai karyawan sebuah toko. Tugasnya sehari hari
mengandalkan kekuatan fisik, menata barang masuk sekaligus menyiapkan pesanan. Sempat
terbersit puasa tahun ini lebih berat, mengingat pekerjaan yang dilakoni. Namun
menahan lapar dan haus, tak boleh dibatalkan untuk alasan pekerjaan.
Kerja yang tangah dijalani sungguh melenceng dari harapan, jauh dari
tipical pekerjaan idaman. Saat masih bersekolah tergolong aktif berorganisasi,
beberapa kali maju lomba tingkat Kabupaten bahkan provinsi. Prestasi akademis
tak mengecewakan, nyaris setiap menerima raport masuk lima besar. Pernah muncul
bayangan dibenak, suatu saat dinas di kantor mewah berpendingin. Berpenampilan rapi
lengkap dengan dasi senada baju, menjalani waktu dari meeting ke meeting.
Sepatu hitam disemir mengkilap, berjalan penuh rasa percaya diri.
Namun kenyataan pahit ditelan, sejak tak bisa masuk kampus negri
pilihan. Kuliah menjadi impian istimewa, akan diraih pada waktu yang direncanakan.
Rasanya bangku perguruan tinggi menjadi obsesi, untuk keluar dari "kepedihan"
yang sedang dialami.
"Hanafi, pesanan karpet ini tolong siapkan" ujar
kepala gudang "sepuluh tempat musti dikirim sore ini"
Lelaki muda usia dua puluhan menerima secarik kertas, memastikan
stock pesanan masih ada. Setelah yakin bergegas ke gudang belakang, diikuti dua
kuli mengemas dan mengangkut barang pesanan.
Gelondongan karpet menumpuk di rak besar, menuntutnya jeli mencari
jenis pesanan. Semua karpet dan gorden sudah dipisahkan raknya, berdasar
kategori agar mudah menemukan. Aneka motif karpet dan type warna harus
dikenali, cukup melihat dari ujung gulungan. Hanafi bisa melampaui pada tiga
bulan pertama, hafal hampir duapuluh motif, warna serta ukuran. Semua berkat ketekunan
mengikuti seniornya, sembari membuka brosur memperhatikan gambar. Bahkan untuk
motif bunga yang cukup rumit, bisa dikenali dari jenis serabut dan warna yang menempel
di karpet.
Pekerjaan cukup menguras waktu dan tenaga, saat stock barang yang dicari tinggal sedikit berada
ditumpukkan paling bawah pula.
***
Hanya terpisah tiga bangunan di jalan yang sama, terdapat satu
gudang kain cukup luas. Sering terlihat tumpukkan daster, sarung, mukena dan
kain batik di tempat tersebut. Pekerja yang berada di sekitarnya, kerap membeli
beberapa potong dengan harga discount khusus.
Hanafi sering melintasi gudang ini, saat hendak makan siang di
warung emperan. Hingga tergerak hati, suatu saat mampir dan membeli.
"Mukena" gumamnya Hanafi dalam hati
Tekadnya mempersembahkan mukena bulat, menyisihkan gaji bulanan
tak seberapa. Sebagai bungsu tak membuatnya manja, tempaan kenyataan telah
membentuknya.
Puasa tahun ini memang jauh berbeda, siang hari tak sekedar
menahan lapar dahaga. Yang berat menahan emosi menghadapi kuli, yang sering
berkata kasar dan membangkang. Apalagi kalau dua truk barang datang, harus
selesai hari itu juga. Fisik yang lelah ditambah godaan untuk marah, semakin
sempurna ujian harus dihadapi.
Namun semua menguap menjelang senja, melintasi gudang kain
mengingatkan niat. Tekadnya semakin kuat usai menghitung tabungan, lima lembar
uang duapuluh ribuan sudah disiapkan. Pernah terbaca delapan puluh ribu di
kertas gantungan, tepat pada tumpukkan mukena.
Selain terdapat angka ratusan ribu bahkan lebih, di atas tumpukkan
mukena lainnya.
Seminggu sebelum mudik dipersiapkan waktu, sore menjelang jam
pulang tiba. Mendatangi gudang yang
dimaksud, berharap membawa sepotong mukena.
Langkah penuh percaya diri diayunkan, sampai di depan pintu yang
dituju. Bergegas mencari tumpukkan mukena, yang pernah dilihat sejak dua hari
lalu. Beberapa kali pandangannya tertuju satu tempat, meyakinkan kalau penglihatannya
tidak salah. Perlahan tapi pasti mulai luntur kegagahan, yang semula dimiliki
saat kedatangan. Masih ada mukena di tumpukan lain, tapi harganya melebih uang
yang disiapkan.
"mbak, tadi pagi saya
lihat harga delapan puluh ribu disini" Hanafi meyakinkan
"sudah habis tadi siang mas" balas petugas singkat
Tak ada kalimat lagi yang hendak diucapkan, kecuali berkecil hati dan
langkahpun mundur teratur. Raut kecewa jelas tak bisa dibiaskan, menghiasai
wajah Hanafi senja itu.
"kenapa mukamu di tekuk gitu" celetuk kepala gudang
"tidak apa-apa pak, kecapekan saja" elak Hanafi
"Bingkisan lebaran dibagikan besok, ini ada tambahan kamu isi
ukuran bajumu" sang pimpinan menyodorkan kertas
Setiap lebaran seluruh pegawai mendapat parcel, khusus tahun ini
mendapat tambahan. Baju koko untuk pegawai pria, dan mukena jatah karyawati.
Seketika berputar pikiran hanafi, berniat hendak menukar baju kokonya.
"Pak, eeem kalau saya pilih mukena boleh?" ucap Hanafi
hati-hati
"Kenapa ditukar, kamu mau pakai Mukena" ledek pimpinan
sambil tersenyum
"Enggak Pak" Hanafi tersipu "buat ibu saya"
Ruangan di sudut gudang sejenak hening, boss gudang itu melihat
bawahannya dan mengangguk.
"Yeeess" pekik Hanafi dalam hati.
|
Illustrasi- dokpri |
***
Gema takbir bersahutan membelah angkasa, Hanafi siap mudik lengkap
dengan tentengan. Parcel dari kantor dibawa pulang, tak ketinggalan mukena
halus berenda cantik. Melihat tampilannya bisa ditaksir, harganya melebih
celengan yang disiapkan.
Dalam bus sepanjang perjalanan pulang, tertanam satu pencerahan
baru tentang keajaiban. Betapa semesta akan mengawal mahluk di pelatarannya,
yang memiliki niat baik dan mulia. Ketidakmungkinan dalam batas logika, akan
dilibas selama manusia gigih berupaya.
Mukena menjadi persembahan istimewa, yang setiap helai benang
mengiringi harapan dan doa. Hari raya tak lagi sekedar hari kemenangan, tetapi
sungguh membuncahkan hati. Lelaki anak ragil dari keluarga bersahaja, bisa
membawa oleh oleh untuk ibunda.
"Matur suwun ya le..." kalimat ibu tersendat
"enggih buk.."balas Hanafi terbawa suasana
Embun bening mendadak hadir di sudut mata, segera ditepis sebelum
meleleh.