Secangkri Kopi (dokpri) |
Pagi belum terlalu sempurna, langkah
kaki kecil itu sudah terlampau jauh menjejak. Yu Sukirah nama perempuan tangguh
ini, tubuhnya yang kurus ternyata menyimpan tenaga yang perkasa. Dua bongkokkan (ikatan besar) ranting
kering, mampu diangkat dengan punggungnya. Dua hari sekali menyusuri jalanan
dari sudut hutan dekat rumahnya, menuju pasar desa kecamatan terdekat.
Kebiasaan ini sudah dilakukan puluhan tahun, hingga anak gadis satu satunya
lulus Sekolah Dasar. Kang Parno sang suami biasanya turut mendampingi, lelaki
berkulit legam membawa lebih banyak bongkokan. Sebagai buruh tani Kang Parno
terpaksa absen jualan kayu, ketika musim panen padi beranjak datang. Seperti
dini hari ini Yu Sukirah berjalan sendiri, karena sang suami musti memetik padi
yang sudah menguning.
Kumandang panggilan subuh bergema, penanda
saat menghentikan langkah sarat beban. Saat melepas penat ditanggung punggung, menghempas
sesak terpendam di dada. Air wudlu membasahi wajah, kaki dan tangan, sejenak
menghantar aroma segar. Mukena lusuh terselip antara ranting digendongan, kini
membungkus tubuh kurusnya. Menyisakan sebentuk wajah kuyu, dan telapak tangan
dengan garis kasar. Menegakkan dua rakaat wajib tiada ditinggal, kecuali saat
siklus bulanan sebagai perempuan datang. Shalat adalah hakekat kehidupan, meski
hidup seolah berwajah tak ramah. Segala peluh yang ditanggung jatuh, mengalir
beriring manik embun dari sudut mata. Serangkaian bacaan bahasa arab imam
musholla, didengar sungguh meski tak dimengerti maksudnya. Beruntung doa yang
dilantunkan, memakai boso jowo halus
yang sangat dipahami. Usai menghadap pemilik kehidupan, ada rasa lega di dada.
Perasaan yang tidak bisa diterjemahkan, namun membuat Yu Sukirah terasa berlipat
semangat.
Jarak dari musholla ke pasar sudah tak
begitu jauh, ditempuh kurang dari setengah kilometer. Maka sambil menunggu
langit sedikit terang, satu kelaziman mampir di warung pojok lapangan. Hati
pemilik warung yang welas, pun seluas
lapangan bola disamping tempat
jualannya. Bu Sadilah sama sekali tak keberatan, menyediakan ruang untuk Yu Sukirah.
Membantu pekerjaan apapun sebisanya, bersama Yu Yem batur*(pembantu) tetap bertahun tahun. Mencuci piring dan gelas
kotor, serta menggoreng jajanan dagangan. Hingga semburat sinar pagi muncul, artinya
Yu Sukirah musti ke pasar menjual kayunya. Atas kerelaan membantu pekerjaan di
dapur, secangkir kopi dan gethuk menjadi upah. Tak ada kamus hitung hitungan
bayaran, yang ada ketulusan atas dasar rela dan direlakan. Saat menikmati
secangkir kopi, sembari duduk di atas dingklik di sudut dapur. Adalah momentum istimewa, yang melegakan rasa
menghempas sejenak duka. Kalau sedang sepi pengunjung, Bu Sadilah membuka
obrolan apa saja. Tak ketinggalan kopi menemani, berada di meja tempat empunya
warung.
Kopi (dokpri) |
"Piye anakmu Yu.." obrolan
dimulai "jadi ngenger* di mana?" (*ngenger = bekerja sebagai pembantu)
Pertanyaan Bu Sadilah membuat gundah
mencuat, hati perempuan kurus seperti terkoyak. Cangkir kopi yang masih panas
diraihnya, disruput langsung beriring satu tarikan nafas panjang. Kopi
yang masih penuh uapnya mengepul, menghadirkan wajah Waginem anaknya. Gadis
tanggung sedianya ditawari bekerja di warung ini, namun tak kunjung menjawab pertanda
menolak.
"mboten ngertos saya budhe,
wong mau anaknya pengin jadi TKW di Arab" ujarnya berat
Aroma kopi masihlah lekat di indra penciuman,
sejanak melumerkan hatinya yang risau. Yu Sukirah perempuan tak berdaya, tetapi
perkasa memanggul beban hidupnya. Cawan ceper diraih dituang air kopi, agar
panasnya setidaknya sedikit berkurang.
Entah sensasi apa yang dihadirkan dari setiap sesapan, tapi ada satu perasaan
yang menjadi lebih ringan. Asap yang mengepul diresapi, dengan mata merem
sambil dihirup dalam. Dalam kesahajaan hidup yang utuh, ternyata tak mengambil
sepenuh hak untuk sebuah kenikmatan. Kenikmatan yang didapati dengan cara sederhana,
melalui secangkir kopi yang dituang di atas cawan kecil.
Kopi di warung Bu Sadilah terkenal enak,
yu yem menggoreng sekaligus ndeplok sendiri.
Kopi mentah dibeli dari langganan di pasar, hanya warung bu Mitro yang menjual
kopi jenis khusus ini. Meski harganya sedikit berbeda, namun rasa yang
ditawarkan tentu berbeda juga. Yu Yem yang telaten dan cekatan, menggoreng di
atas tungku menggunakan wingko (wajan dari tanah).
Kopi dibolak balik sampai menghitam, menyemburkan
hawa panas di sela sela biji. Setelah setiap butiran kopi dipastikan matang, dideplok mengunakan lumpang batu. Proses
ndeplok perlu beberapa waktu dan
kesabaran, sampai butiran demi butiran kopi matang hancur. Langkah selanjutnya serbukan
kopi disaring, memakai ayakan dengan lubang tipis. Agar kopi yang dihasilkan
dijamin halus, bisa larut dengan air saat disajikan.
"Yu yem,...kapan kapan aku diajari
goreng kopi kaya gini yo.."rajuk Yu Sukirah memendam penasaran.
"enak yo rasane,...." senyum
Sayem merekah bangga " iyo yu... nanti tak ajari"
Racikan favorit pelanggan terpenuhi, melalui
adonan tangan pemilik warung. Dalam takaran yang terukur, tersaji kopi nasgitel
alis panas, legi, kenthel. Dengan aneka pilihan jajanan, membuat secangkir kopi
terasa lebih nikmat. Pelanggan kebanyakan bapak bapak sepuh, datang saat malam
tiba. Mereka membincangkan keseharian dengan gayeng, ditemani secangkir kopi Bu
Sadilah. Penjual sayuran atau blantik sapi, hadir biasanya sebelum subuh. Cita
rasa kopi warung ini tersebar, melalui cara efektif yaitu mulut ke mulut.
Bu Sadilah adalah generasi pemula,
sedikit memendam gundah seperti Yu Sukirah. Anak mbarepnya sudah bekerja di
Mojokerto, sedang ragilnya kelas dua SMA di Magetan. Kedua anaknya tak ada yang
tertarik, meneruskan warung rintisan ibunya.
Ada kesah yang serasa turut tertuang,
beriring kucuran kopi diatas cawan. Semerbak aroma kopi yang menyentuh ujung
hidung, merampas sedikit kepedihan yang ditanggung. Dua perempuan berbeda
kelas, dengan cita rasa kopi yang sama. Saling gudo roso (berbagi perasaan) yang hinggap, meski dengan sudut
pandang sendiri sendiri.
Satu sruputan
kopi ditingkah potekan gethuk, mengganjal perut Yu Sukirah yang nyaris
keroncongan. Wejangan Budhe Sadilah yang mengalir, membuat kenikmatan kopi
semakin paripurna. Secangkir kopi tak lagi sekedar secangkir kopi, tetapi
menjelma sebuah perhatian dan ruang lapang.
Yu Sukirah datang dua atau tiga hari
sekali, bergilir jualan ranting kayu di desa lain. Sehingga ke warung Budhe
Sadilah, menjadi pengobat rindu pada secangkir kopi. Selain menjaga diri atas
rasa sungkan, kalau terlalu sering mampir.
"memang maunya anak sekarang sudah
beda" celetuk budhe Sadilah "penginnya dapat duit gedhe"
Tak gamblang maksud kalimat Budhe
Sadilah, bisa jadi mewakili perasaannya sendiri juga. Yu Sukirah hanya diam
mendengarkan, tak tahu musti menjawab dengan kalimat apa. Dirinya seperti
berada dipersimpangan, antara melepas dan menahan Wagiyem. Anak wedhok satu
satunya, kalau sudah punya kemauan cukup keras hati. Apalagi setelah melihat
teman semasa SD, menjadi TKW pulang membawa perhiasan dan duit banyak. Tapi Yu
Sukirah justru mengedepankan rasa khawatir, ketika mendengar berita TKW disiksa
majikan, atau pulang tinggal nama.
Secangkir kopi dengan aroma tak terkira,
sejenak telah mengusir kesahnya. Sruputan demi sruputan dilalui, menemani
sepotong pagi yang ke entah. Mengelupas rasa tak menentu, namun tak ada pilihan
kecuali dijalani. Secangkir kopi meninggalkan residu pekat, sepekat kebimbangan
batinnya. Secangkir kopi mengandung banyak hal, kadang sama sekali tak dipahami
perempuan setangguh Yu Sukirah.
"Budhe nuwun sewu langitnya sudah
terang, kulo pamit dulu" ujarnya sambil berkemas.
"Yo yu, sing ati ati" balas
pemilik warung.
foto dipinjam dari http://slametriyadi.com |
Kerekatan batin dua perempuan ini,
terjalin erat melalui secangkir kopi. Aromanya yang ngangeni, menjadi hak siapa saja mengecap tanpa memandang kasta.
Langkah kaki yang sempat berat, mendadak menjelma ringan sarat semangat. Secangkir
kopi telah mengalirkan energi, bersama kelapangan hati pemilik warung. Meskipun
beban tetaplah beban, yang tak diketahui akan kemana bermuara. Bayangan Waginem
disimpannya, menjemput keringat demi keringat untuk dibawa pulang nanti siang.