ilustrasi dokumen pribadi |
Saya
sangat sepakat dengan peribahasa, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Peribahasa yang sudah saya hapal di bangku SD, tak jauh beda dengan pepatah
"Buah Jatuh tidak jauh dari pohonnya". Anak-anak adalah cerminan dari
orang tuanya, karena sekolah paling awal ada pada ibu dan ayahnya. Dari
rumahlah anak-anak dibentuk (atau terbentuk) karakternya, yang akan dibawa
menyongsong kehidupan di dunia luar yang luas.
Saya
belajar dari pengalaman masa lalu, mendapat asupan kasih sayang yang cukup. Meski
secara materi pas-pasan, tapi kedua orang tua cukup waktu memberi perhatian.
Kehidupan desa yang relatif rendah mobilitas, membuat ayah atau ibu ada saat
kami membutuhkan. Sikap ayah yang bersahaja karena kondisi ekonomi, ditopang
ibu yang cukup hemat dalam berbelanja. Pendek kata serupiah yang keluar dari
kantong, musti sangat diperhitungkan kemanfaatannya. Semua keadaan masa lalu
tersimpulkan dengan cara saya sendiri, otomatis membentuk karakter ketika dewasa
dan merantau kelak.
Anak dan Keteladanan
Anak
butuh figur yang sadar atau tidak akan dijadikan acuan, kemudian mereka akan
menyontoh perilaku sang figur. Maka ruang ini semestinya diisi oleh orang tua,
karena ibu atau ayah (semestinya) kerap ditemui dalam keseharian. Pada ayah dan
ibulah serba memungkinkan, anak-anak akan
berbagi kisah dan kesah. Pada orang tua pula mereka akan mengajak berbicara, mencurahkan
perasaan sekaligus meminta
pertimbangan.
Ibu Elly Risman
Musa seorang praktisi dunia parenting, mengungkapkan bahwa anak-anak adalah peniru ulung. Terutama pada anak usia
Balita, menjadikan ayah dan ibu sosok yang dicontoh tindak-tanduknya. Pada
situasi ini saya memosisikan sebagai pembelajar, berupaya semaksimal mungkin
menjadi teladan yang baik. Sebagai keluarga muslim kami berusaha konsisten,
mendirikan sholat lima waktu secara baik. Membiasakan membaca kitab suci setiap
hari, berharap anak-anak melihat kemudian mencontoh. Konon nasehat terbaik
bukanlah dengan ucapan semata, tapi justru lebih efektif dengan tindakan. Alhamdulillah
anak yang kelas empat, menjaga sholatnya bahkan mengajinya sudah al qur'an.
Sementara adiknya masih TK A, sudah mulai berlatih membaca Juz Ama.
-0-o-0-
Perihal
keteladanan saya jadi ingat sebuah buku, "Menjadi Ayah Bintang" karya
Neno Warisman. Pada sub judul "Ayah Sejati" terdapat penggalan kisah apik,
sangat menginspirasi semangat dan jiwa keayahan saya.
Memetik kisah
menggetarkan dalam buku tersebut saya berkesimpulan, seorang anak hebat niscaya
lahir dan tumbuh dari ayah dan ibu hebat. Karena pada orang tua yang berperilaku
baik akan "tertularkan", sekaligus menjadi panutan anak-anak dalam menentukan
sikap. Keteladanan menjadi kata
kunci tidak bisa ditawar, tanpa memandang harta, jabatan dan semua kepemilikan.
Siapapun orang-tua dengan profesi apapun, dengan kondisi sosial ekonomi yang
bagaimanapun, bukan halangan untuk memberi keteladanan baik pada anak-anak.
ilustrasi dokumen pribadi |
Anak-anak dalam Permasalahan
Sebagai orang tua
perasaan saya cukup miris, melihat anak-anak di lingkungan sekitar rumah. Merasakan dan mendengarnya secara langsung, memberi
kesimpulan mereka minim keteladanan. Sungguh saya merasakan pedih di hati,
ketika mendengar anak belum genap sepuluh tahun berucap tak pantas. Pernah saat
dengan roda dua melintasi sekumpulan anak, terdengar kata (maaf) "Bego"
"Songong" "Goblok" "Payah luh" dan kata tak
pantas lainnya. kejadian nyata juga pernah saya jumpai saat mengantar anak
sekolah, seorang ibu mengumpat dengan kata tak semestinya pada anaknya.
(Maaf) "Dasar otak luh
Bego" si ibu ekspresi wajahnya tidak bersahabat.
Sejauh
pengetahuan dan keyakinan yang saya yakini, dalam ilmu agama ucapan orang tua
laksana doa. Maka orang tua musti banyak belajar, agar tak sembarang berucap
menghadapi buah hati.
Pada bilik-bilik
kecil di warnet pernah mejumpai, beberapa anak berseragam merah putih sebagian
lagi biru putih. Karena saya berada persis di bilik bersebelahan, mendengar
obrolan dan celoteh mereka. Saya berkesimpulan mereka mengakses youtube, dan menyaksikan
tayangan tidak sesuai usaianya. Situs-situs dewasa tak segan beramai-ramai
ditelusuri, sambil cekikikan mereka mellihat gambar tanpa pakaian. Celetukan
terdengar mengomentari yang dilihat, tentu dengan kalimat jorok dan tidak
pantas. Sementara pada anak-anak usia awal belasan, terlihat mulai menghisap
rokok di tempat umum.
Saya sepakat
perkembangan tekhnologi tak bisa dihindarkan, masalahnya adalah bagaimana agar
tekhnologi menjadi bermanfaat. Satu satunya jalan adalah memakai untuk hal
positif, yang mendukung untuk perkembangan pribadi lebih baik. Pertanyaannya dari mana anak-anak mendapat
masukan, tak lain dari orang tua di rumah.
Sering saya menjumpai
pasangan muda mudi, menilik tampilannya dari keluarga berkecukupan. Berdua remaja
pria dan perempuan mojok di cafe, tanpa canggung memanggil dengan sebutan
"Yang" bersentuhan fisik. Sambil tertawa tak henti bercerita, tangan
saling merangkul dan sebagainya. Pada hari libur kisah mirip terjadi di taman,
dari wajahnya saya taksir umur belasan. Perilakunya seperti sejoli sedang
kasmaran, si pria tak segan mengelus pipi pasangannya.
Kalau mau merunut
kejadian serupa masih banyak lagi, membuat saya sebagai orang tua tambah
prihatin. Kalau kebetulan kenal biasanya saya tegur dengan halus, tapi tak
yakin apakah mereka akan berubah. Keadaan
yang terjadi pasti tidak tiba-tiba, ada benang merah panjang dibelakangnya. Tiba-tiba
saya jadi berkesimpulan sendiri, perihal keteladaan orang tua di rumah. Sebuah cuplikan puisi pernah saya dengar
dalam sebuah acara, rasanya relevan dengan keadaan.
Di rumahmu
ada pintu dan jendela,
Kau berusaha
selalu menutupnya
Agar angin
dan badai tak menerpa
Agar buah
hati tak disentuhnya
Namun
anak-anak akan tiba masa
Menempuh
onak kehidupan
Melintasi
badai masing-masing
Tumbuh
menjadi pribadi mandiri
Situasai di dunia
luar rumah sangat tidak terprediksi, maka membangun pondasi mental menjadi cara
manjur mempersiapkan anak-anak. Ketika
tiba saat anak-anak lepas dari orang tua, mereka siap menempuh perjalanan kehidupannya
sendiri.
dokumen pribadi |
dokumen pribadi |
Mengatasi Masalah Anak
Saya pribadi biasanya
berbagi pada teman, yang memiliki anak seusia anak saya. Ngobrol tentang cara
menangani masalah anak, juga urun saran kalau terjadi masalah keseharian. Kalau
ada seminar parenting tak segan datang, ilmu yang didapati tak enggan
dibagikan. Meluangkan waktu khusus bersama anak, termasuk menemani jika mereka
ingin ke warnet seperti temannya.
Namun tidak semua
orang tua bersikap sama, ada yang abai tak mau tahu dan seenaknya. Bisa saja
jumlahnya mereka lebih banyak, dibandingkan orang tua yang perhatian. Mungkin
upaya saya ibarat setetes air di tengah sahara, mungkin saja efeknya tidak terlalu
signifikan. Namun setidaknya saya
memulai yang saya bisa, minimal merubah sikap dari diri sendiri. Merujuk ulasan
yang saya paparkan pada artikel ini, saya justru ingin focus pada orang tuanya.
Saya kira cukup menjadikan
anak sebagai focus permasalahan, tanpa melihat sekian aspek yang berdiri dibelakangnya.
Andai saja ada pihak yang mau merepotkan diri, melakukan kelas parenting dari
lingkungan terkecil yaitu RT. Setiap bulan biasanya akan ada arisan untuk
ibu-ibu, atau kegiatan kerjabakti bagi bapak bapak. Atau melaui majelis taklim
di masjid terdekat, diselipkan pembahasan dengan tema pengasuhan dikaitkan agama.
Misalnya saja tenaga sukarelawan parenting dihadirkan, meluangkan satu jam saja
dalam kegiatan rutin tersebut. Siapa tahu upaya mulia ini bagai cahaya, dalam
gelap pengetahuan dunia pengasuhan. Menurut saya
sungguh tak adil terus menuntut sang anak, tanpa meminta orang tua memberi
keteladanan.
Coba kawan's mari kita bandingkan, antara dua strategi ini mana yang mujarab.
Coba kawan's mari kita bandingkan, antara dua strategi ini mana yang mujarab.
Cara pertama ;
"ayo nak
segera tidur besok kamu musti bangun pagi" ujar ayah suatu malam.
Keesokan hari si
anak benar bangun pagi, sementara ayahnya masih mendengkur. Kok saya gak yakin
malam berikutnya si anak akan menurut, ketika dinasehati tidur cepat agar
bangun pagi.
Cara kedua ;
Ayah membangunkan
anaknya yang masih tidur, ketika pagi mulai menjelang datang. Sang anak pasti lebih
termotivasi bangun, melihat ayahnya lebih dulu menyongsong fajar.
Pada cara kedua
terdapat keteladanan, tanpa ajakan yang diabaikan sendiri oleh ayah.
Pada ujung
artikel ini ingin saya cuplikkan, sebuah puisi abadi tentang anak dari kahlil
Gibran.
Kaulah busur,
dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur
Sang Pemanah
Maha Tahu sasaran bidikan keabadian
Dia
merentangkanmu dengan kekuasaan-NYA
Hingga anak
panah itu melesat, jauh serta cepat
Meliuklah
dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia
mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana
pula dikasihiNYA busur yang mantap
Menjadi orang tua ibarat sebuah proses pembelajaran panjang, akan menuai hasil kelak ketika tiba masanya. Betapa anak panah (anak-anak) yang melesat jauh serta cepat, berasal dari busur (orang tua) yang kuat dan mantap. (salam)