Cover Buku "Ijinkan Aku Bertutur" (dokpri) |
Siapa tak kenal nama Neno Warisman,
Penyanyi, Pemain Sinetron dan Bintang Film era 80-an. Kualitas vokalnya tak
diragukan, melengking menggapai nada nada tinggi. Semasa jayanya beberapa lagu
hits sudah dicetak, sebut saja lagu berjudul Matahariku, Kulihat Cinta di Matanya,
Kebangkitan, Biar Saja. Bahkan satu lagu duet dikenang hingga sekarang, adalah
Nada Kasih yang dibawakan bersama Fariz RM. Tak berhenti hanya merambah di dunia tarik suara, teater
yang menjadi background berkesenian diseriusi. Maka satu judul Sinema Elektronik
TVRI, bertitel Sayekti dan Hanafi sutradara
Irwinsyah mematri namanya. Kualitas akting yang mumpuni dan prima, memantaskan
nama beliau menjadi pemain papan atas. Sebagai bukti atas keberhasilannya,
Piala Vidia menjadi ganjaran atas sukses tokoh mbok gendong yang diperani.
Setelah masa berlari jauh berlalu, lagu
Nada Kasih direkam ulang oleh penyanyi muda. Vokal dari penyanyi Rio Febrian
berduet dengan Erra farzira, menjadi lagu Nada Kasih versi dan aransemen baru. Pun
tak mau tertinggal Sinetron dengan cerita dan judul yang sama, kembali
diproduksi memasang bintang muda sebagai pemerannya. Melalui tangan dingin
sutradara Hanung Bramantyo, menghadirkan Widi Mulia (Sayekti) dan Agus Kuncoro
mengganti peran Wawan Wanisar sebagai Hanafi.
Hingar bingar dunia keartisan perlahan
ditinggal, setelah Neno memutuskan berhijab. Dunia dakwah dan parenting
ditekuni, membentuk karakter sungguh beda hingga kini. Meski namanya tak lagi
moncer di dunia hiburan, namun ketokohannya mulai diakui masyarakat. Dengan
sapaan akrab Bunda Neno, lekat image
religius disematkan padanya. Bunda Neno memakai bakat menyanyi dan
berakting, untuk memperkuat pesan dalam berdakwah.
******
Dokumen Pribadi |
Melengkapi perjalanan kehidupannya,
bertepatan pada usia 40 tahun (pada 2004) melakukan gebrakan. Menerbitkan buku
hasil karya perdananya, dengan judul "Ijinkan Aku Bertutur". Beliau
menulis semacam puisi esai, atau puisi yang sedang bercerita. Tak mengherankan
kalau puisinya panjang, kemudian beliau menyebut dengan tuturan. Itulah yang
menjadi alasan buku pertama, diberi judul "Ijinkan Aku
Bertutur". Rasa keagamaan kental
dalam tuturannya, di akhir puisi disertai ulasan yang melatarbelakangi tercetus
ide menulis.
Dokumen Pribadi |
Satu permenungan yang cukup dalam (menurut
saya) adalah puisi terdapat pada halaman 68. Terpapar judul yang menyentuh,
"Jalan Ke Khusyu Itu"
Jalan
ke khusyu itu bersimbah peluh
Mau
berlambat -lambat melafal
Hingga
paham semua makna tersurat dan tersirat
Bukan
lambat jika datang dipanggil
Melainkan
sabar meniti bacaan dengan tartil
Jalan
ke khusyu itu
Cepat
bersimbah wudhu sebelum waktu
Ketika
adzan kumandang, badan tegak dan hati lapang
Buang
semua pekerjaan dan pikiran
Ingatnya
hanya satu;
Allah,
Tuhan, Pengasih Penyayang
Pada puisi ini jelas sekali rasa
religinya, bahwa apapun musti melalui sebuah proses. Keseharian dalam kehidupan
yang penuh dinamika, tak ubahnya proses menanti waktu menuju haribaan-NYA.
Khusyu bisa diartikan dalam ibadah wadag (sholat, puasa), pun bisa
diaplikasikan dalam ranah yang lebih luas. Khusyu berperan sebagai ayah atau
suami dengan sebaiknya, baik dalam pencarian nafkah pun menjadi nahkoda
keluarga. Khusyu sebagai istri atau ibu dengan selurusnya, baik dalam mendidik
anak dan mengabdi pada suami. Hanya dengan kekhusyukan akan menyentuh esensi,
akan menjumpa dengan kesejatian fungsi akan keberadaan diri. Pada bagian akhir
puisi, tertoreh kalimat indah.
Jalan
ke khusyu itu
Tak
dapat dibuktikan siapa-siapa
Kecuali
nanti, sesudah bertemu sendiri melihat WAJAHNYA
Atas
izin-NYA kumpul kembali
Sesudah
mengelana dalam alam fana
Dan
menanggung rindu terindu rindu aduh aduh nian...
*****
Neno Warisman bukan lagi nama seorang
selebritis, beliau pernah mengungkapkan lebih nyaman sebagai hamba Allah.
Seolah tak hendak melupakan "habitatnya", sesekali masih tampil
bernyanyi dan berperan. Namun lagu atau tokoh yang diemban, diselaraskan dengan
dakwah dan keagamaan.
Ilustrasi buku (dokpri) |
Total ada 41 tuturan bunda Neno
tertorehkan, dengan judul yang membuat penasaran. "Aku Ingin Anak Lelakiku
Menirumu", "Aku Berdzikir", "Kasih Ibu di Mangkukku",
"Hatiku di Antara Dua Jari- jari di Jemarimu". Sketsa dari satu putra
dan dua putri beliau, menjadi pelengkap sekaligus ilustrasi puisi. Sehingga
terasa pas dan saling mendukung, dengan isi puisi yang disampaikan.
Kini setelah buku ini, sudah menyusul
karya beliau berikutnya. " Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi" dan
" Semua Ayah Adalah Bintang ". Semoga ranah kepenulisan bisa menjadi
lahan, untuk perjuangan Bunda Neno setelah mengurangi drastis nyanyi dan seni
peran.