Pantai Padi ini tak jauh dari Kota Pangkalpinang - dok kelas blogger |
Siapa tak kenal kota Pangkalpinang ?
Saya pribadi mengenal sejak awal tahun 90-an, kebetulan ada
saudara jauh dinas di kota ini. Kala itu saya sekedar mengenal nama saja, sembari
membayangkan rupa dan bentuk dari cerita saudara. Tak dinyana tersurat takdir
jua, menjejakkan kaki bersama teman-teman Kelas Blogger.
Sungguh sebuah kejutan, ketika kesempatan itu datang menghampiri.
Saya berkesempatan meliput, ritual tahunan yang bernama Cheng Beng. Saya akan
manfaatkan waktu sebaik mungkin, menikmati udara, air dan tanah Pangkalpinang.
Sekilas saya mengamati beberapa arsitektur bangunan, batin ini
menyimpulkan ada pengaruh gaya Tiongkok. Setelah membaca beberapa literatur
terjawab juga, keberadaan Pangkalpinang tak bisa dipisahkan dari
pengaruh kekaisaran Tiongkok di Asia Timur.
Coba saja
perhatikan !
Bangunan Klenteng tersebar hampir di seluruh kota, dalam
ukuran besar atau kecil sesuai fungsi dan kegunaannya. Pendem China atau makam
orang tua Cina, Pemakaman Belanda, bangunan dengan arsitektur Cina, penataan
pemukiman yang dipisahkan, banyaknya gang sempit sebagai bukti keterikatan kuat
dengan Tiongkok.
Saat kunjungan ke Pangkalpinang, saya sempatkan
berjalan menikmati suasana kota. Saya kerap berpapasan dengan wajah oriental,
dengan kulit cerah dan bentuk mata sipit. Keberadaan etnis Thionghoa memang tak
bisa dipungkiri, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
O'ya, Pangkalpinang disebut dalam literatur sekitar
abad 17 lho. Pangkal artinya Pusat
Distrik (Distric Capital), sementara Pinang adalah sejenis tumbuhan palm yang
multi fungsi banyak tumbuh di Bangka.
Mulanya Pangkalpinang adalah sebuah kampung kecil,
berupa pangkalan pengumpulan timah. Daerahnya berawa-rawa, dengan sungai-sungai
membelah. Sehingga dapat dilayari kapal dan perahu, perjalanan bisa membawa
sampai ke muara.
Tempat Ibadah ini tak jauh dari pusat kota Pangkalpinang -dokpri |
Pangkalpinang Masa
Kini.
Saya merasakan denyut kota yang dinamis, perekonomian
masyarakat bertumbuh ditunjang letak strategis di lintas International.
Berbagai upaya dilakukan Pemerintah daerah, untuk mengangkat nama Pangkalpinang
agar lebih dikenal masyarakat luas.
Pariwisata menjadi sektor penting dan seksi, musti mendapat
perhatian khusus dari pihak terkait. Endingnya mengerucut pada satu tujuan, yaitu
kunjungan wisatawan domestik atau mancanegara.
Bayangkan kawan's,
Bayangkan kawan's,
setiap pengunjung membutuhkan penginapan, kuliner,
souvenir dan masih banyak lainnya. Kebutuhan wisatawan ini adalah potensi,
mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
Awal April
2016
Kedatangan kami bukan tanpa rencana, Kelas Blogger ingin
menyaksikan langsung puncak Cheng Beng. Tradisi
unik sekaligus ritual tahunan, masyarakat Thionghwa khususnya
umat Khonghucu. Acara serupa sebenarnya diadakan beberapa daerah, namun lokasi
Pekuburan Sentosa yang membuat acara di Pangkalpinang begitu istimewa.
Ritual Cheng Beng atau sembahyang kubur, sebagai perwujudan sikap hormat
masyarakat Tionghwa pada leluhur. Mereka yang masih hidup masa sekarang, masih sangat
mencintai dan menghormati orang tua, kakek nenek, sampai buyut dan seterusnya. Sampai sampai terjadi tradisi pulang kampung,
layaknya hari besar umat muslim.
Areal Pekuburan Sentosa -dokpri |
Seluruh anggota keluarga menyempatkan diri berkumpul, termasuk perantau
dari luar kota atau luar negeri.
Sehari sebelumnya acara Puncak, mulai diadakan pembersihan kuburan.
Rumput liar sekitar pemakaman dicabut, nisan dinding berbentuk setengah
lingkaran setinggi satu meter-an dicat ulang.
Pria usia tigapuluhan saya hampiri, terlihat sedang mengawasi tukang
yang sibuk mengecat. Pak Hadi nama lelaki berwajah bersih, sengaja pulang dari perantauan
untuk perayaan Cheng Beng.
"Ini bukti
penghormatan, rasa cinta dan sayang pada leluhur. Kami membangun makam sesuai
kemampuan, sebenarnya memang tak ada pakemnya.Kalau keluarga yang punya duit, bisa
saja membangun makam leluhur secara mewah"Jelas Hadi
Tentu tak hanya Pak Hadi, saya melihat banyak keluarga lain datang
dengan rombongan. Prosesi yang dilakukan serupa, yaitu membersihkan makam dan
mengecat ulang. Setelah makan terlihat cantik, baru diletakkan sesaji berupa panganan. Tak lupa ada tempat dupa dan lilin untuk membakar
dupa, sebagai sarana mendoakan arwah leluhurnya. Pada ujung pembersihan
pemakaman, diberi uang-uangan kertas plastik warna kuning merah.
Eit's tunggu
dulu !
Untuk panganan sesaji dan buah-buahan, keluarga selalu memilih
kualitas terbaik. Menurut cerita seorang tukang di makam, biasanya harga tak
menjadi soal asalkan berkualitas.
Keluarga sedang membersihkan makan -dokpri |
Pekuburan
Cina Sentosa
Pekuburan Cina Sentosa atau atau Tjung Hoa Kung Mu
Yen, dibangun pada tahun 1953. Memiliki luas sekitar lebih dari 19 ha, sampai
saat kunjungan saya terdapat sekitar 12.950 makam.
Meski areal pemakaman, jangan bayangkan suasana
angker dan seram ya. Kuburan sentosa jauh dari image tersebut, karena tertata rapi
dan rutin dibersihkan. Jalanan sudah beraspal halus, kendaraan bisa masuk pekuburan
tanpa parkir terlalu jauh.
Makam tertua adalah makam keluarga Boen, pernah
dipugar pada tahun ke empat pemerintahan Sun Yat Sen sekitar tahun 1915. Makam
dibangun dalam bentuk dan arsitektur unik, dihiasi dengan tulisan aksara Cina.
Pemilihan tulisan, secara tidak langsung menunjukkan strata sosial yang dikebumikan.
Lokasi Pekuburan Sentosa berada di perbukitan, wujud
penghargaan dan penghormatan orang Cina terhadap leluhurnya. Pekuburan Sentosa sumbangan marga
Boen, bisa dilihat dari tugu pendiri dibangun pada 1935. Pekuburan ini
didirikan oleh empat orang, Yap Fo Sun tahun 1972, Chin A Heuw tahun 1950, Yap
Ten Thiam tahun 1944 dan Lim Sui Chian
(wafat pada masa penjajahan Jepang).
Pekuburan Sentosa di Pangkalpinang -dokpri |
Komplek pemakaman ini terbesar se Asia Tenggara,
memiliki arsitektur berbeda di setiap makam. Ada makam yang dibangun dengan
batu granit, konon pembangunannya menghabiskan dana ratusan juta. Bahan
bangunan berkualitas tinggi sebagai komponen, batu marmer yang terpasang didatangkan khusus
dari Itali.
Ada Tapinya !
Tak hanya keturunan Thionghwa boleh dimakamkan
disini, buktinya saya menemui kuburan Katholik. Selain itu terdapat
dua makam muslim, berada diantara ribuan makam yang ada. Hal ini menggambarkan,
toleransi beragama masyarakat sedang berlangsung.
Tampak nisan salib diPekuburan Sentosa -dokpri |
Puncak Cheng
Beng - Senin 4 April 2016
Pagi belum begitu sempurna, jetlag akibat perbedaan
waktu Jakarta- Pangkalpinang belum juga lenyap. Langit pangkalpinang masihlah
gelap, jarum pendek jam menunjuk angka 01.30 dini hari.
"Yuk kita berkemas" ajak seorang teman blogger
Dengan mata setengah terpejam, saya memaksakan diri mandi air
hangat. Shower di kamar mandi penginapan cukup manjur, mengurangi rasa pegal dan
penat di badan. Peralatan "tempur" berupa Kamera, Tripod, Action Cam,
Recording dan segala macam sudah disiapkan.
Mobil yang mengantar kami sudah siap, driver tak kalah sigap ikut
menginap di tempat yang sama. Sesuai jadwal di rundown, acara dimulai pukul
03.00 waktu setempat. Untung dari tempat menginap menuju Pekuburan, hanya perlu 20 menit waktu tempuh.
Mengingat ini pengalaman perdana, kami datang lebih cepat
mengantisipasi parkiran penuh. Satu hal lagi, kami tak ingin kehilangan moment puncak
Cheng Beng.
Saat roda empat tiba di gerbang tempat tujuan, suasana masih gelap
dan lengang. Mobil pengantar leluasa masuk, melintasi jalanan yang membelah
areal pemakaman. Meski di luar masih sepi, ternyata di pusat perayaan mulai ada
kesibukan. Paithin, adalah central perayaan Cheng Beng setiap tahun.
Lokasi perayaan Cheng Beng -dokpri |
Paithin atau tempat sembahyang, tempat mengirim doa bagi leluhur
yang yakin makamnya ada di Pekuburan Sentosa namun tidak menemukan fisiknya.
Saya menyaksikan aneka persembahan tertata rapi, berada di areal
Paithin. Sesajian buah-buahan (Sam Kuo), dibentuk menyerupai gunungan. Satu
macam buah dibentuk satu gunungan, ada buah
jeruk, apel, pear dan nanas. Selain itu
ada juga bentuk gunungan dari panganan, seperti kue bolu kukus, apem, kue ketan
(wajik), bika ambon, kue cucur dan macam kue lainnya.
Ada juga lho dua binantang, yaitu Kambing dan Babi siap panggang.
Kedua binatang ini disembelih, dibersihkan bulunya dan ditusuk dengan kayu.
Satu sudut di pelataran Paithin, menjadi tempat berdoa umat
khonghucu yang datang. Membawa beberapa dupa dengan ujung dibakar, pangkal dupa
digenggam dan diletakkan di dekat jidat. Sekitar 5 menit berdoa
di satu titik, kemudian meletakkan satu dupa dan berpindah ke titik berikutnya.
Saya tak begitu heran, kalau aroma dupa terasa memenuhi udara.
Cheng Beng sendiri artinya bersih/ terang, terbersit harap arwah leluhur
ada di tempat terang. Bisa jadi prosesi meletakkan satu batang dupa, simbol
agar terang itu sampai alam baqa.
Panggung berdiri di sisi kanan pelataran, diisi dengan hiburan musik
Tanjidor. Alat musik tradisional ini, kerap saya lihat pada acara kesenian
Betawi. Bapak- bapak usia lima puluhan ke atas, sebagai pemain musik khas ini.
Pengunjung ada yang naik panggung, menyanyi lagu berbahasa Mandarin. Terus
terang saya masih asing judul lagunya, tapi mendengar nada dan lirik lumayan sedikit
familiar. Lagu Mandarin memang mendominasi, namun ada beberapa lagu lama
diperdengarkan seperti "Kolam Susu" milik Koes plus.
Pelepasan Lampion saat Cheng Beng -dokpri |
Aneka Sesajian di siapkan di Paithin -dokpri |
Langit Pekuburan Sentosa masih gelap, meski tak selegam
sebelumnya. Sekitar pukul 04.00 waktu setempat, dilakukan pelepasan lampion.
Lampion disediakan oleh panitia, siapapun dipersilakan menerbangkan ke udara.
Caranya cukup mudah, satu teman memegang plastik bagian atas. Satu
orang lainnya membakar gabus, pastikan mengeluarkan asap agar lampion bisa
terbang. Bagi orang Thionghwa, pelepasan lampion tidak sekedar pelepasan saja.
Tapi saat lampion hendak terbang, ada doa dan harapan dipanjatkan.
Di ufuk sang surya merekah,
Bapak Muhammad Irwansyah, Walikota Pangkalpinang tampak datang, disusul Bapak Rustam Efendi Gubernur Bangka Belitung. Dua petinggi duduk sebentar, kemudian berkeliling di
sekitar Pekuburan Sentosa. Tak lupa menyapa keluarga yang usai sembahyang,
sembari berbincang sebentar. Moment berharga bagi keluarga leluhur, dimanfaatkan untuk berfoto
bersama dengan Walikota dan Gubernur.
Walikota Pangkalpinang Muhammad Irwansyah beserta Gubernur Bangka Belitung Rustam Efendi, menghampiri keluarga yang selesai berdoa di makam leluhurnya -dokpri |
"Besar harapan tradisi tahunan Cheng Beng, bisa menjadi magnet wisata di Pangkalpinang. Seperti tradisi Cap Go Meh, yang sudah melekat di daerah Kalimantan" Jelas Pak Gubernur.
Saya pribadi merasakan, tradisi Cheng Beng memiliki keunikan yang mengagumkan.
Selain sekedar adat istiadat, sebagai cara mengeratkan tali kekerabatan.
Tradisi mudik yang terjadi saat Cheng Beng, berpadu dengan daya tarik wisata
religi. Ketika keduanya menyatu, maka jumlah orang yang ada di Pangkalpinang
saat Cheng Beng meningkat. Akibatnya percepatan perputaran roda ekonomi
terjadi, masyarakat sekitar juga yang merasakan dampak positifnya.
Semoga ada kesempatan lagi ke Pangkalpinang, ingin menikmati
panorama dan lokasi wisata lainnya. -salam-