Scientists at the Oregon Health and Science University
have announced a positive step towards finding a cure for HIV (Image: Shutterstock)
|
Diskriminasi
adalah sebuah akibat dari sebuah sebab,
ibarat bencana banjir perlu diketahui musababnya. Bisa saja banjir
disebabkan pendangkalan dasar sungai, atau penumpukkan sampah di aliran air,
atau bisa jadi berkurangnya daerah resapan air. Setelah dikenali dan diketahui penyebab
banjir baru mencari solusi, bagaimana
mengatasi dan kemudian mencegah agar tidak datang kembali. Pada tahap mencegah
butuh upaya panjang berkesinambungan, agar akibat demi akibat yang datang
kemudian hari tidak akan terjadi.
Diskriminasi
biasanya terjadi karena ketidaktahuan dan minim informasi, banyak aspek yang
terjadi dibalik ketidaktahuan tersebut. Entah karena akses mendapatkan
informasi sangat sedikit, atau karena latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan
yang tak memungkinkan melek pengetahuan.
Tapi siapa berani menjamin orang
berpendidikan lepas dari sikap mendiskriminasi, mungkin karena faktor tak mau
ambil resiko (dalam kasus ini dekat dengan ODHA).
Seperti
pada artikel saya sebelumnya, Peran blogger menepis stigma AIDS sanksi sosial begitu berat. Petugas
kesehatan (dokter, perawat) atau bahkan mahasiswa, masih ada perasaan enggan
berdekatan dengan ODHA. Beberapa artikel rujukan yang saya jadikan bahan bacaan,
ternyata sikap petugas kesehatanpun juga cukup beralasan. Dokter atau perawat dan
petugas rumah sakit yang menangani ODHA,
"terseret" juga tak lepas dari diskriminasi dari lingkungan
atau masyarakat. Tak perlu mencari dari
mana "lingkaran setan" ini dimulai, bisa jadi semua karena masih
minimnya informasi yang utuh tentang ODHA.
Sebuah
survey pada 2002 dilakukan oleh Herek at al, tentang ekspresi nyata atas Stigma
HIV/ AIDS di Amerika. Pada tahun 1999
satu dari lima orang dewasa "takut" pada ODHA, dan 1 dari 6 orang
mengaku "jijik" berinteraksi dengan ODHA. Pada penelitian lain di tahun 2000 terhadap
5600 orang dewasa di Amerika, 1 dari 5
responden menegaskan ODHA layak mendapatkan apa yang diderita sekarang. Amerika
yang terkenal dengan negara "bebas", masyarakatnya tegas memberi cap
pada ODHA. Perilaku berhubungan seks bebas tanpa pengaman, dianggap biang
keladi pelaku tertular HIV/AIDS.
Sebuah
survey dilakukan di Indonesia, mewawancarai mahasiswa di Sulwesi Selatan. Empat
diantara sepuluh mahasiswa mengaku enggan bergaul dengan ODHA, alasannya cukup
jamak khawatir akan tertular. Saat mahasiswa ditanya lebih lanjut, seandainya ODHA
tersebut adalah teman mereka. Maka keempatnya memilih lebih baik menjauhi,
daripada menanggung resiko tak diinginkan di belakang hari.
Saya pribadi
yakin sejatinya mereka kaum terpelajar bisa menggali informasi, lebih detil
tentang epidemilogi penyakit menular. Bahkan mungkin mereka (kalau mau) akan
cepat paham, mekanisme atau cara penularan HIV/ AIDS. Pada orang terpelajar
seperti mahasiswa, akan tahu bagaimana cara untuk menyikapinya.
-0-o-0-
sumber ; sukabumi.web.id |
Menghindari Diskriminasi
Tentu
bukan upaya yang mudah merubah sikap masyarakat, hukuman sosial ini terjadi
pasti dengan runut yang panjang. Menurut hemat saya pribadi sebagai orang awam,
kunci menghindari diskriminasi adalah
justru kesiapan menghadapi diskriminasi. Artinya secara mental ODHA musti
dipersiapkan, bahwa akan terjadi kemungkinan di luar yang tidak terprediksi. Berada
di sebuah lingkungan atau kelompok masyarakat, tak ubahnya seperti berada dalam
samudra luas lengkap dengan ombak dan badai. Semua orang yang bukan ODHA -pun
juga dimungkinkan, mengalami entah
diskrimasi, intimidasi atau apapun namanya. Meyakinkan bahwa siapa saja bisa
mengalami diskriminasi, tanpa harus menjadi ODHA sekalipun.
Pembekalan
mental ini sangatlah penting, mengingat tidak bisa seorang individu menuntut
masyarakat. Mungkin peran psikolog yang mumpuni dan tahan banting, akan sangat
berpengaruh pada ODHA. Penguatan sisi
religius dari ODHA juga sangatl penting, memberi penyadaran tentang apa tujuan
hidup sesungguhnya. Semakin terasah kepekaan hati mendalami ajaran agama,
niscaya akan mempengaruhi perilaku keseharian.
Selain
aspek psikologis dan religius (agama) terus disuport, dengan gaya hidup sehat
baik dalam hal konsumsi makanan atau tindak tanduk dalam bersikap. Merubah
lingkungan pergaulan yang lebih baik, agar aspek yang mendukung pulih dan lebih
sehat tercapai. Mungkin tak ada solusi yang ideal, semua pasti ada plus
minusnya. Namun justru sebuah solusi yang dijalani dan diketahui minusnya,
ibarat pintu baru untuk selalu melakukan penyempurnaan.
Moment
Pernas AIDS V tahun 2015 di kota Anging Mamiri, semoga menjadi tonggak mengangkat
harkat dan martabat ODHA. Pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) , semoga bisa menelurkan kebijakkan yang membuat ODHA bernafas
lega. Bahwa ODHA juga manusia seperti yang lainnya, selayaknya mendapatkan
perlakuan yang sama.
Sekali
lagi ingin saya menggarisbawahi kalimat ini, kunci menghindari diskriminasi
adalah justru siap menghadapi diskriminasi.(salam)
Referensi
bacaan Stigma dan Diskriminasi ODHA