|
Novel Anak Rantau -dokpri |
Bagi kutu
buku dan pecinta novel, saya yakin nama A.Fuadi sudah tidak asing lagi. Novel Triloginya
yaitu ”Negeri 5 Menara”, “Ranah 3 Warna” dan “Rantau 1 Muara”, berhasil melejitkan
namanya sebagai penulis serta masuk rak best seller.
Sabtu
siang (5/8’17) bertempat di Gedung Pos Kota Tua Jakarta, Blogger hadir dalam
acara soft launching novel terbaru A.
Fuadi berjudul Anak Rantau. Suasana dan atmosfir masa lalu di Kota Tua begitu
terasa, seolah mengajak saya naik mesin waktu ke masa silam.
Kebetulan
saya sendiri seorang perantau, dunia rantau turut membenturkan saya menjadi pejuang
setidaknya bagi diri sendiri. Bayangkan saja, dalam perantauan kita musti belajar
tentang banyak hal. Mulai mengatasi masalah keseharian, perlahan-lahan mampu
berdiri di atas kaki sendiri.
Ada yang
istimewa lho, acara soft launching novel Anak Rantau dihadiri banyak peserta. Ada
yang datang dari Malaysia, Karawang, Jogjakarta, Padang, Bogor, Tangerang
Selatan dan banyak tempat jauh lainnya.
Begitu
tersanjung dengan antusiame peserta, Fuady mengutip sebuah hadist sekaligus
kepercayaan anak pesantren, “orang yang berjalan jauh untuk menuntut ilmu akan
didoakan Malaikat bahkan ikan di laut.” (cuplikan hadis ini pernah ditulis
dalam novel negri 5 menara)
Menurut
saya buku ini semakin keren, meskipun baru dijual secara online ternyata sudah ada yang membajak. Artinya buku ini calon best
seller dong, terbukti pembajak sudah mengendus gelagat tersebut.
-0o0-
|
A. Fuadi dan Miftah Sabri - dokpri |
Kisah
dalam Novel Rantau sangat kekinian, bisa menjadi representasi dengan kondisi
yang terjadi di negara kita.
Sejak
Pilpres dan Pilkada yang begitu heboh, menyisakan luka yang tidak kunjung sembuh
sampai sekarang. Ada dua pihak yang saling berseberangan, selalu melihat satu
peristiwa dari dua sudut pandang.
“Kalau luka fisik bisa diobati, kalau luka
hati dan luka batin susah diobati,” ujar Fuady.
Tokoh
utama dalam novel Anak Rantau bernama Hepi, seorang anak kota yang diajak pulang ke
kampung ayahnya untuk diproses menjadi orang baik. Namun kenyataan di kampung si
ayah, Hepi menemukan teman baru dan orang orang yang terluka.
Salah
satunya adalah kakeknya sendiri, yang dulunya seorang pejuang dan dilukai oleh kebijakan
negara sendiri. Pada akhir novel, si kakek menemukan pencerahan bahwa sakit hati
hanya menambah luka, obatnya hanya satu adalah memafkan dan lupakan.
Tema merantau
bermula dari kampung halaman, yaitu romantisme Fuady akan danau Maninjau, kemudian
dibalut tema detektif yaitu kisah datuk dan anak muda terkena narkoba.
Namun
pesan kuat novel ini, sangat mendasar adalah mengobati luka untuk menumbuhkan
banyak maaf pada masa silam.
Buku
setebal 370 halaman ditulis selama 4 tahun, karena proses pengeraman ide dan
riset membutuhkan waktu tidak sebentar. Sempat kesulitan mengembangkan cerita, namun
setelah riset, wawancara dan permenungan akhirnya ketemu ruh cerita.
Untuk
melancarkan proses penulisan, Fuadi menempel mind map di dinding guna membantu garis besar tulisan. Demi
munculnya ide, si penulis tinggal beberapa waktu di kampung halaman, ngobrol dengan alim ulama,
tokoh adat dan perantau yang sudah kembali ke kampung.
Untuk
memperkuat kisah tetang narkoba, tak tanggung tanggung Fuady melakukan riset kepada
intel BNN.
Soft Launching
Anak Rantau semakin lengkap dan keren, dengan kehadiran Miftah Sabri CEO
Selasar. Miftah adalah orang yang membaca Anak Rantau sejak dalam bentuk draft, sehinga Fuady merasa
ada sidik jari Miftah di novel terbarunya.
“saat
membaca tokoh Hepi, saya seperti membaca diri sendiri” ujar Miftah.
Miftah
Sabri adalah seorang piatu, tak lama setelah lahir ke dunia ibunda langsung berpulang.
Kemudian dibawa ayahnya ke kampung, sangat bisa merasakan bagaimana suasana
hati Hepi.
Miftah
kagum dengan penulis yang bisa menulis dengan sederhana, novel Anak Rantau
ditulis dengan gaya bahasa sederhana. Berangkat dari point of view seorang Hepi
yang anak puber, benar benar keluar dari pengalaman pribadi Fuady yang pernah
dituangkan dalam Novel sebelumnya.
“Potret
yang ada di buku ini, bisa terjadi dan ada di seluruh daerah di Indonesia. Fuady
bagaikan sosiolog, memotret sebuah kampung yang mewakili kampung di negeri kita,”
tambah Miftah.
|
Blogger dalam Soft Launching Anak Rantau -dokpri |
-0o0-
Dalam
commuter line menuju stasiun Manggarai, Novel Anak Rantau saya baca baca
sekilas. Dalam kereta merenungkan perjalanan hidup, pada usia yang kepala empat
banyak sudah peristiwa dihadapi.
Pada kisah
yang menyesakkan berpuluh tahun silam, rasanya sulit sekali menghapus dalam ingatan.
Memaafkan memang butuh perjuangan, namun kalau tidak dilakukan hanya menambah
luka semakin dalam.
Ternyata,
saya masih harus banyak belajar memaafkan pada orang yang pernah melukai diri
sendiri.