|
dokumentasi pribadi |
Bagi anda penggila novel, pasti sudah tidak asing
dengan nama Eduard Douwes Dekker atau Multatuli.. Douwes Dekker yang lahir di Amsterdam tahun
1820, pernah menjadi Asistant Residen di Lebak Banten pada periode 1856 – 1856.
Meski memiliki kewarganegaraan Belanda, batinnya
miris melihat fenomena kerja paksa kala itu. Hingga lahirlah tokoh Saidjah
Adinda yang melegenda, dalam Novel berjudul Max Havellar yang terbit pada tahun
1860.
Novel yang dipasarkan kali pertama di Belgia, konon
langsung mencetak best seller kala
itu. Kisah masyarakat Lebak yang ada di dalam novel ini, ternyata juga menginspirasi
perlawanan terhadap penjajah di kawasan Eropa.
Dalam rangkaian ‘Blogger on Vacation’ bersama Semen
Merah Putih, Blogger diajak mengunjungi Perpustakaan Saidjah Adinda. Lokasi
perpustakaan ini terbilang strategis, yaitu di Jl RM Hardiwinangun no 3 atau di
kawasan alun alun timur Rangkasbitung.
Perjalanan blogger dari stasiun Rangkasbitung, butuh sekitar
30 menitan untuk sampai di perpustakaan Saidjah Adinda. Kalau naik angkutan
umum juga bisa, silakan cari angkot warna merah bata bernomor 4 tujuan Ona. Pesan
ke pengemudi untuk diturunkan di alun
alun, cukup membayar empat ribu rupiah saja.(hasil nanya mbah google nih)
Mengapa “Blogger
on Vacation” kok ke Perpustakaan?
Sejalan dengan Pilar Pendidikan dalam program CSR
Semen Merah Putih, erat kaitannya dengan dengan program ayo gemar membaca.
Semen Merah Putih melakukan upaya nyata, berupa
pemberian donasi papan informasi (majalah dinding) untuk media informasi dan
kreatifitas masyarakat di Desa Kaserangan Serang Banten. Gerakan membaca
bersama, juga diwujudkan dengan donasi buku bacaan yang didistribusikan ke seluruh
sekolah di Kabupaten Serang Banten.
Pilar pendidikan pada CSR Semen Merah putih lainnya, berupa program pemberian beasiswa dan
peningkatan kompetensi masyarakat.
Perpustakaan Saidjah Adinda di Lebak, sangat berpotensi
menjadi destinasi wisata sejarah dan edukasi. Bentuk bangunan yang dipilih juga
sangat unik, mengadopsi bangunan khas suku baduy yaitu Leuit.
Apa itu Leuit
?
Leuit atau lumbung padi masyarakat suku Badui, berfungsi
untuk menyimpan hasil panen dan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Konon leuit bukan sekedar bentuk bangunan saja, tapi
lebih pada sistem atau management pengelolaan bahan pangan atau beras. Dengan penerapan
sistem leuit, terbukti suku Baduy tidak pernah kekurangan beras sepanjang
tahun.
Material yang dipilih untuk Perpustakaan Saidjah
Adinda didominasi bambu, sesuai dengan nama Rangkasbitung, Rangkas artinya
patah dan bitung artinya bambu.
|
dokumentasi pribadi |
|
Suasana Perpustakaan- dokpri |
Perpustakaan yang selesai dibangun pada awal Desember
2016, posisinya berdampingan dengan Museum Multatuli. Khusus bangunan Museum Multatuli,
adalah bangunan yang dipertahankan keasliannya sejak bupati kedua Lebak. Bagaimanapun
juga tak bisa dipungkiri, nama penulis buku Multatuli yang mendunia tidak bisa
dilepaskan dengan Lebak.
Siapa sangka kedua bangunan ini telah menjadi ikon
baru, banyak anak muda datang untuk selfie dan
upload ke medsos. Terlebih pada malam hari, dua bangunan bertambah
indah karena dilengkapi lampu hias aneka warna.
|
Drs. Ali Rahmat, M.M -dokpri |
Drs. Ali
Rahmat, M.M. Selaku Kabid
Perpustakaan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Lebak, pada saat
temu blogger menyampaikan “Perpustakaan Saidjah
Adinda, telah dimodernisasi dengan sistem pelayanan digital. Saat ini sudah memiliki 20 ribu judul buku,
dengan jumlah buku sekitar 30 – 40 ribu eksemplar dan akan terus ditambah judul
dan jumlahnya. Meskipun belum genap satu tahun berdiri, perpustakaan ini sudah
didatangi 14 ribu pengunjung yang 70% diantaranya adalah anak dan remaja.”
Menurut saya nih, pernyataan Pak Kabid sekaligus mematahkan
stigma bahwa budaya membaca generasi muda dibilang rendah.
Perpustakaan Saidjah Adinda memiliki jam operasinonal
08 – 15 WIB, kalau hari minggu dengan mobil perpustakaan keliling buka di
kawasan Car Free Day.
“Pada bulan
Desember, Dinas Perpustakaan akan mengadakan bedah buku Max Havellar dengan
tujuan untuk lebih memperkenalkan sejarah,” tambah Drs. Ali Rahmat, MM.
Tak sekedar perpustakaan saja lho, pada lantai dasar
dilengkapi mini studio. Blogger sempat diajak masuk studio, menyaksikan
pemutaran film berjudul Max Havellar. Film yang diproduksi tahun 1976 dengan
memasang beberapa nama bintang Indonesia, dulu sempat dilarang diputar pada
masa orde baru—
wah jadi makin penasaran.
|
di depan Museum Multatuli -dokpri |
Karena keterbatasan waktu dan musti melanjutkan
perjalanan, blogger tidak bisa menyaksikan film Max Havellar sampai habis. Ingin
pada lain kesempatan datang lagi, khusus untuk menyaksikan film Max Havellar.
Nah kalau anda juga penasaran, yuk berkunjung ke
Lebak jangan lupa mampir ke Perpustakaan Saidjah Adinda. –salam-