|
Acara bincang Netizen -dokpri |
Pernah gak membaca di media sosial, bertebaran status
tentang kenaikan tarif listrik. Ada seorang ibu kaget naik sampai limapuluh ribu,
sembari bingung apa karena penggunaan yang boros atau memang tarifnya naik.
Temu netizen yang diinisiasi Kementrian ESDM, sedikit
memberi pencerahan bagi blogger dan netizen yang saat itu hadir.
Apakah memang tarif listrik naik ?
Tarif listrik terjadi penyesuaian sejak januari 2017,
menuju tarif keekonomian bagi masyarakat yang tidak berhak menerima subsidi.
Artinya tarif listrik tidak naik, khususnya diberlakukan bagi rakyat miskin.
Kebijakan ini dilakukan demi peningkatan pembangunan
infrastruktur, sehingga pemerintah mempunyai ruang fiksal yang memadai. Subsidi
energi pernah mencapai 342 T, kalau tidak dikelola dengan sebaik-baiknya akan
menyebabkan pembangunan infrastruktur terhambat.
Masyarakat miskin tetap perlu dibantu, dengan cara
mengurangi subsidi bagi masyarakat yang sudah mandiri. Jadi jelas subsidi listrik
rakyat miskin tidak dicabut, langkah
pemerintah untuk pengalokasian subsidi yang tepat sasaran.
Saat ini 92 % wilayah di Indonesia sudah dialiri
listrik, artinya masih ada 8 % belum tersentuh listrik atau 6 – 7 juta jiwa.
Sementara wilayah Thailand sudah 99% berlistrik, negara Brunei dan Vietnam sudah
sampai 98% wilayah terjangkau listrik.
Sebaran 8% wilayah belum terjangkau listrik, terdiri
dari Papua, Sulteng, Maluku, NTT, Kalteng, target pada tahun 2019 listrik
menjangkau 97% wilayah di Indonesia. Hal ini perlu biaya besar, membutuhkan investasi
sekitar 1300 T sampai tahun 2019, untuk pembangunan pembangkit, transmisi,
distribusi dan lain sebagainya.
Semakin banyak listrik digunakan, semakin besar
subsidi diterima sementara pengguna subsidi justru dari kalangan masayarakat
mampu. Pemerintah akhirnya mencari jalan keluar, sesuai Undang-undang tetap
diberikan Subsidi pada masyarakat tidak mampu.
Program subsidi listrik tepat sasaran, memcakup
subsidi listrik bagi rakyat miskin. Sementara yang mampu disesuaikan/
dipindahkan, namun dilakukan secara
bertahap dengan persetujuan pembuat kebijakan (DPR).
Subsidi listrik juga diberikan pada masyarakat
kategori rentan miskin, karena pada golongan masyarakat kategori ini masih
sangat perlu dikuatkan.
Dari data yang
tercatat 23.1 juta pelanggan 900 V, didalamnya terdapat 4.05 juta termasuk
miskin dan rentan miskin. Artinya ada 19 juta harus mengalami penyesuaian,
kalau dari 19 juta ini masih ada yang ternyata masuk kategori miskin dan atau
rentan miskin, bisa mengajukan pengaduan melalui kelurahan.
Data per september 2016 terdapat 10.70 % atau 27
juta, intervensi subsidi diberikan pada rakyat miskin dan rentan miskin.
Kategori rentan diperkirakan 40%, mereka yang rentan terhadap gagal panen,
memiliki pendapatan dengan upah minimum.
So, sampai saat ini hanya berlaku dua tarif, satu
tarif listrik bersubsidi dan tarif yang full keekonomian. Dengan pemberlakuan
tarif keekonomian bagi masyarakat mampu, maka rakyat miskin tetap menggunakan
hak sesuai amanat undang-undang.
Profil penerima subsidi listrik sama dengan profil
penerima subsidi BBM, sayangnya masih banyak masyarakat mampu masih menerima
karena yang diberlakukan subsidi komoditas. Jangan sampai hal ini terus
terjadi, listrik rakyat miskin digunakan orang kaya.
Kriterianya kaya dan miskin didata dengan menggunakan
komposit dari puluhan variabel, dengan datangnya petugas BPS mencacah data
setiap warga. Mulai dari kondisi pekerjaan, kepemilikan asset dan sebagainya
kemudian dimasukkan grafik dan di klasifikasikan dalam rangking. Cara untuk
menentukan cukup komplek, menggunakan beberapa macam variable supaya objektif.
Makanya program subsidi tepat sasaran musti terus
disosialilsasikan, melalui website dan medos termasuk melalui artikel dari
blogger dan netizen.
Kalau ada yang bilang tarif listrik naik, bisa jadi
petanda anda masuk kategori masyarakat mampu. Artinya sudah saatnya subsidi
listrik dialihkan, bagi masyarakat miskin yang lebih berhak sesuai amanat
undang undang.