Rasulullah SAW bersabda“kita
baru pulang dari perang yang kecil menuji perang yang lebih besar lagi”.
Dialog antara kanjeng Nabi dengan sahabat, tertulis dengan tinta emas sejarah. Dialog yang terjadi selepas perang badar, kaum muslim membawa kemenangan besar.
Sahabat dibuat penasaran, menanyakan perang apa yang melebihi besarnya badar. “adalah perang melawan diri sendiri”
----
Mengimani dan mengamini sabda Baginda
Nabi, wajib bagi kaum muslimin. Saya pribadi butuh waktu, untuk mencerna dan
memahaminya. Hingga setelah dewasa, baru merasakan makna kalimat tersebut.
Perang melawan diri sendiri, ibarat perang melawan hawa nafsu. Ego untuk menang sendiri, untuk diutamakan, untuk diprioritaskan, adalah hal yang manusiawi. Tetapi bahwa kita hidup tidak sendiri, ada orang lain yang musti dihargai.
Oke, kalau perang melawan pihak
lain sudah jelas. Objeknya terlihat dan bisa disasar, serangan yang diluncurkan
tampak di penglihatan. Tinggal kepiawaian kita, menakar mengukur energi
dikerahkan. Sehingga lawan yang disasar, bisa tumbang tanpa buang waktu lama.
Kalaupun saat itu lawan unggul, di hari selanjutnya kita bisa mengubah strategi. Setelah mempelajari kelemahan, dan dijadikan senjata merobohkan lawan. Ibaratnya perang tanding, segala ilmu bela diri atau ilmu pedang bisa menjadi senjata pertahanan.
Sementara perang melawan diri
sendiri, itu sangat unik dan abstrak. Butuh kesiapan mental, butuh jiwa besar,
mau mengesampingkan egosentris.
Mengingat hawa nafsu cenderung pada kesenangan, dan segala senang menjadi tujuan manusia. Kita rela bekerja siang malam, tak lain demi mengejar bahagia. Bisa membeli hal-hal bendawi, menjadi salah satu musabab kebahagiaan.
Peperangan melawan diri, memang tidaklah mudah. Kalaupun orang bisa menaklukan ego, selanjutnya dibutuhkan konsistensi. Dan seberat itu bersikap konsisten, level ujiannya setingkat lebih tinggi.
Seberat Itu Bersikap Konsisten
Perang melawan diri, bisa terjadi saban waktu. Perlawanannya di segala kondisi dan suasana, sampai susah dibedakan. Bahkan di setiap hela nafas, nafsu (baca setan) berambisi menaklukan manusia.
Nafsu datang saat kesenangan tiba, membisiki manusia agar berlaku pamer. Rumah mobil dan segala dipunya, adalah senjata nafsu mengalahkan kita. Nafsu tak luput saat sedih hadir, membisiki orang agar meratap dan menjauh dari sang Khaliq.
Ya, sebegitu saratnya lahan peperangan
melawan diri. Sekiranya tidak mawas diri, sangat besar kemungkinan untuk tergelincir
dan tersesat.
-----
Saya pernah mengawal kegiatan sosial,
sebuah komunitas Blogger di Tangerang Selatan. Salah satu kegiatannya adalah
berbagi, diadakan rutin sekira tiga tahun berjalan.
Kegiatan rutin mingguan melibatkan
donatur, sehingga per kegiatan saya punya kewajiban melaporkan di medsos.
Mengingat penggalangan dana, juga dimulai dari media sosial.
Sungguh, tidak jarang saya dilanda kebosanan. Maju mundur di dalam benak, antara melanjutkan atau menyudahi kegiatan. Mengingat personel yang terbatas, dan otomatis tenaga juga terbatas.
Nafsu sering kali membujuk
disudahi, setelah dana donatur habis tersalurkan. Toh, tidak ada yang
mewajibkan, di situasi genting benarlah sabda Baginda Nabi.
Betapa perang berat adalah melawan diri, berat di level berikutnya adalah konsisten. Konsisten adalah kunci, setan tak akan pernah ada selesai menggoda. Memang seberat itu bersikap konsisten.