27 Des 2024

Ayah Menanam Kenangan Baik di Benak Anak

Setelah menikah dan punya buah hati, saya tercerahkan atas yang belum saya ketahui. Terutama pada hal-hal, yang dulu pernah dilakukan ayah pada anak-anaknya. Sikap ayah yang dulu saya tidak setuju, atau yang saya tidak mengerti. Kini, saya temui jawabannya.

Menjadi ayah, adalah sebuah peran yang luar biasa. Bukan sekadar untuk gagah-gagahan, atau untuk status sosial. Demi menyelamatkan diri, dari pertanyaan orang di sekitar. Peran ayah bukanlah main-main, kelak diminta pertanggungjawaban.

Ayah butuh terus belajar, berproses dan tiada henti. Bersedia membuang ego sejauhnya, super sabar menjalani jalan takdir. Ayah sandaran, bagi keluh kesah istri dan anak-anak. Sebagai tulang punggung keluarga, maka musti tangguh dan kuat.

Semestinya ayah, menjadi panutan istri dan anak-anak dalan berlaku. Sikap teladan disajikan, agara dicontoh anak-anak saat menghadapi dunianya kelak. Meski ayah adalah manusia biasa, sangat penuh kekurangan dan perlu introspeksi. 

------

"Le, ndang tangi wis jam limo" suara lembut itu sangat saya akrabi

Telapak tangan bekas air wudhu berangsur kering, mengelus mengelus punggung ini. Sesekali di masukan ke balik kaos, hawa segarnya menyebar seluruh tubuh.

"ayo tangi, subuhan"ajaknya.

Tanpa menjawab, saya bangkit dengan mata masih merem. Langkah masih diseret, bergeser ke pintu kamar mandi.

Seingat saya, ayah paling rajin membangunkan anak-anaknya. Sementara ibu berjibaku didapur, menyiapkan sarapan sekeluarga. Selepas sholat, ayah menggiring saya duduk di teras agar tidak tidur lagi.

Kebiasaan pagi yang ajeg, sampai bungsunya selesai sekolah dasar. Sejak berseragam biru putih, ayah tak membangungkan lagi.

Saya dinilai cukup bertanggung jawab, dengan rutinitas sendiri. Setelah sholat menyiapkan peralatan sekolah, membantu menyapu lantai. Mandi pagi sarapan, baru berangkat ke sekolah.

Banyak rekaman kisah lampau, sampai sekarang terekam jelas. Yaitu saat merengek dibelikan tas sekolah, mengingat tas lama sudah koyak. Maklum tas sudah lama dipakai, dari kelas satu sampai kelas tiga SD.

Ayah menjadi penyelamat, ketika naik kelas empat. Tas kain model ransel warna cokelat, menjadi alasan senyum ini mengembang. Selain menjadi tas kebanggaan, sebagai mengobar semangat belajar.

Saya masih sangat bisa mengingat,  bentuk dan corak tas sekolah itu. Tas yang dibeli, saat ayah sedang kesulitan finansial. Ayah yang sangat irit bicara, selalu ingin membuktikan rasa sayangnya pada anak. Semua diupayakan sunguh-sungguh, tanpa berkeluh kesah.

Ayah Menanam Kenangan Baik di Benak Anak

 


"Kakak mau tanding futsal, belum punya seragamnya" rengek anak lanang.

"Memang kapan tanding futsalnya?" tanya saya baik.

"Seminggu lagi, yah" jawabnya memelas

Saya ayah, masih terus belajar. Belajar pada ketangguhan ayahanda, saat mengabulkan permintaan saya anaknya. Demi seragam futsal idaman, saya memutar otak menyisihkan tabungan. Hingga sehari sebelum tanding, seragam dimaksud sudah di tangan.

Melihat senyum mengembang di bibir, mengingatkan pada perasaan saya dulu. Melihat anak lanang mengepas kaos jersey, mengingatkan saat diri menyandang tas ransel cokelat kebanggaan.

Pada ayah, saya belajar menjadi ayah kuat dan tegar. Menanamkan kenangan- kenangan baik, melalui kisah keseharian. Smoga di kemudian hari, anakku mengenang kebaikan seperti saya mengenang (alm) ayahanda.

Aku ingin hidup di sanubari anaku, seperti ayahnada hadir di sanubariku.  Menanam kenangan (baik) di benak anak, sejatinya wajib bagi ayah. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA