Tidak
bisa dipungkiri, sebagian besar masyarakat kita masih tabu ngobrol soal seks.
Apalagi orangtua ke anak dan sebaliknya, bicara seks bukan hal yang lazim.
Padahal
tugas orangtua, memberikan edukasi seks pada anak-anak,lebih-lebih saat terjadi
perubahan fisik memasuki usia puber.
Hal
ini yang menjadi perhatian, Mariana Yunita Hendriyani Opat, asal Nusa Tenggara
Timur (NTT). Perempuan tangguh yang akrab disapa Tata, bergerak dan tak lelah menyuarakan
isu Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
Mendobrak tembok tabu, sehingga edukasi seks bisa menjadi hal yang wajar. Meski diakui bukan hal yang mudah, tetapi sama sekali tidak menyurutkan langkah.
Tata
yang tidak memiliki latar belakang pendidikan terkait, namun motivasi
mengangkat isu HKSR sedemikian besarnya. Untuk kiprah yang luar biasa ini, Tata
menerima penghargaan Satu Indonesia Awards 2020, dari Astra Indoensia.
------
Masa
kecil Tata, dilewati dengan pengalaman tak mengenakkan. Dirinya adalah korban
kekerasan seksual, yang cukup membuatnya trauma. Kemudian saat kuliah, Tata menjadi
korban kekerasan dalam berpacaran.
Dengan background sebagai penyintas, membuatnya semakin tergerak mengangkat isu-isu HKSR. Tata beranggapan, sangat penting menyosialisasikan HKSR pada masyarakat. Mengingat di Kota Kupang, belum ada kelompok remaja yang concern masalah ini.
Perempuan kelahiran 1992 ini, akhirnya mengajak teman-teman yang juga pernah mengalami kekerasan seksual. Membentuk komunitas, sebagai tempat korban pelecehan seksual, bercerita mencari solusi sekalian sosialiasasi HKSR.
Pada
tahun 2016 terbentuk komunitas “Tenggara Youth Community”, Tata sebagai founder
sekaligus penasehat. Sosialisasi HKSR terus digaungkan, agar masyarakat makin
aware dan terhindar kekerasan seksual.
Program
“Bacarita” besutan Tenggara Youth Community, cukup efektif dan diterima
masyarakat. Bacarita diambil dari bahasa melayu yang artinya bercerita,
mengajak masyarakat bercerita dengan bahasa santai.
Kali
pertama kegiatan diadakan pada 30 Agustus 2024, di Pusat Pelayanan Anak (PPA)
Kupang. Mendapat respon sangat baik, dikemas dengan metode sosialisasi yang
berbeda dan jauh dari kesan kaku.
“Kami melakukan sosialisasi dengan menggunakan games dan kegiatan-kegiatan yang disukai anak-anak. Pihak PPA mengatakan kalau hal ini adalah hal baru dan sangat bagus bagi anak-anak,” ujar Tata.
Diakui tata, bahwa sebelum mengadakan sosialisasi ada team yang survey. Hal ini sangat membantu, menciptakan metode sosialisasi, yang sesuai dengan kelompok akan dikunjungi.
-----
Mengangkat
isu HKSR bukan hal yang mudah, Tenggara Youth Community pernah ditolak kelompok
gereja.
Pihak
gereja beranggapan, bahwa pendidikan seksualitas adalah pendidikan untuk
melakukan seks bebas. Sehingga anak-anak atau remaja, melakukan pacaran tidak
sehat seperti terjadi kehamilan di luar nikah.
Alumnus Fakultas kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana Kupang, sangat memahami kekawatiran tersebut. Kemudian Tata bersama Tenggara Youth Community, melakukan pendekatan dan diskusi dengan pihak gereja.
“pihak gereja meminta penjelasan saat edukasi
dikorelasikan dengan alkitab dan mereka meminta agar tidak membahas mengenai
kondom,” jelas Tata.
Mendobrak Tembok Tabu Edukasi HKSR di NTT
Sifon adalah tradisi sunat tradisional ala Pulau Timor, dilakukan seorang dukun dengan menggunakan bambu.
Uniknya, saat penis masih berdarah, si remaja laki-laki diharuskan melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang disiapkan dukun. Konon hal ini dilakukan, guna membantu meredakan rasa nyeri.
Meski
tradisi sifon sudah tidak popular, tetapi ada kelompok yang masih menjalankannya.
Tradisi sifon, disinyalir memicu peningkatan kasus HIV Aids di wilayah Pulau
Timor.
Tenggara Youth Community, tergerak melakukan sosialisasi pada warga untuk menekan pelaksanaan tradisi sifon.
Setelah
sosialisasi didapatkan kabar baik dari pastor, para remaja laki-laki
mengumpulkan teman-temannya, malakukan sunat massal di puskesmas sesuai standar
kesehatan.
Masa
pandemi melumpuhkan kegiatan masyarakat, termasuk sosialisasi HKSR oleh Tenggara
Youth Community.
Akhirnya beradaptasi diadakan kegiatan secara daring, mula-mula dengan group WhatsApp, selanjutnya menggunakan zoom, google meet dan instagram live. Aplikasi yang memungkinkan, bisa tatap muka dan lebih menarik.
Masih
banyak mimpi Tata dan Tenggara Youh Community yang belum terwujud. Dinataranya harapan
agar isu HKSR, minimal menjadi ekstra kurikuler di sekolah, atau bisa menjadi
bahan edukasi kegiatan yang diadakan gereja.
Kemudian melakukan kerjasama dengan dinas kesehatan dan puskesmas, atau setiap instansi memiliki layanan ramah remaja.
“Setidaknya kami bisa didukung agar sosialisasi terkait isu HKSR bisa menjangkau lebih banyak anak-anak dan remaja lagi. Selama ini untuk dukungan dari pemerintah masih belum terlihat,” Ujar Tata.
Mimpi
besar lainnya, Tenggara Youth Community menjadi lembaga berbadan hukum. Memiliki
rumah singgah, agar pendampingan korban kekerasan seksual bisa dilakukan dengan
lebih maksimal.
Saat
ini tercatat 42 orang anggota Tenggara Youth Community, tersebar di beberapa
daerah di NTT, ada yang tinggal di Malang, Bali, dan Jakarta.
Pencapaian
Tata di Satu Indonesia Awards, semoga bisa membukakan jalan, agar Tenggara
Youth Community lebih dikenal masyarakat. Menjadi jembatan penghubung,
stakeholder yang aware dan concern pada isu terkait HKSR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA