Gadget
di era digital, bukan barang mahal. Nyaris setiap orang memiliki, untuk memudahkan
kegiatan sehari- hari. Teman-teman pasti sepakat, sesuatu yang berlebihan tidak
baik.
Orang
kecanduan—pada apapun—, berpotensi menimbulkan ketergantungan. Dan hal ini,
yang menjadi perhatian Achmad Irfandi. Pemuda asal Sidoarjo, penggagas dan
perintis Kampung Lali gadget (KLG).
Sebuah
upaya menjaga tradisi, melindungi anak-anak dari kecanduan – alias dampak negatif
--- gadget. Bukan perkara mudah, mengingat gadget dengan pesona dan inovasinya.
Tetapi challenge tersebut, tak menyurutkan semangat Irfandi.
Atas
kiprah luar biasanya, mengantarkan nama Irfan memenangi penghargaan SATU
Indonesia Awards 2021.
---- --- --
Beberapa
waktu lalu, saya mendapati istilah baru yaitu Xnilas. Adalah istilah
disematkan, orang yang lahir di medio 70-80 an. Konon yang lahir direntang itu,
adalah generasi beruntung dan mengalami transisi jaman --- btw, saya Xnials.
Masa kecil saya, sangat akrab dengan aktivitas fisik. Permainan lokal ala anak-anak, kami hapal dan lakukan saat berkumpul.
Ada
permainan benthik, betengan, gerobak sodor, engkling, sluku bathok, gundhu,
lompat tali dan masih banyak lainnya. Sungguh, menyenangkan, permainan yang
butuh aktivitas fisik membuat kami gesit.
Masa remaja kami tiba, bersamaan bermunculannya kursus ketik komputer. Maka mesin ketik manual yang gedenya segaban, tersaingi dengan keyboard desktop yang enteng.
Ketika
masuk kuliah mulai ada internet, saya membuat alamat email. Berselang kemudian hadir
pager, perangkat penerima pesan tulisan-
mirip SMS tapi tidak bisa membalas.
Saya punya handphone, jelang akhir tahun 1999 menuju awal tahun 2000. Kala itu, gadget dikategorikan barang mahal. Fungsinya cukup spesifik, adalah menerima, menelpon, serta kirim dan terima SMS.
Perlahan
tapi pasti, fungsi gadget berkembang sedemikian rupa. Efek dari keterhubungannya
dengan jaringan internet, banyak kemudahan bisa ditimbulkan. Mau main games,
belanja, nonton film, booking tiket transportasi, dan masih banyak lagi.
Generasi millenials dan gen z dan ke bawah, sangat melek teknologi digital. Sebuah keniscayaan jaman, yang tidak bisa dihindari. Mau tak mau, kami gen Xnials beradapatasi agar survive.
Kami
yang sudah mulai berumur, cukup bisa mengendalikan gadget. Pengalaman dan
tanggung jawab hidup, membuat kami tidak sampai gadget addict.
Tetapi anak-anak kami yang SMP, SMA atau kuliah – notabene gen z--, belum sepiawai ayah ibunya. Sangat butuh bimbingan dan perhatian, agar tidak kebablasan atau kecanduan gadget.
Gadget
ibarat pisau bermata dua, tergantung pemakainya. Dan Achmad Irfandi, tidak rela
melihat anak-anak kecanduan gadget.
Melalui
program Kampung Lali Gadget yang dirintais tahun 2018, kini menarik perhatian
masyarakat. Orangtua dan anak-anak di lingkungan Irfandi, merasakan manfaat
atas program besutan pria sederhana ini.
Meminimalisir Kecanduan Gadget Ala Achmad Irfandi
Saya pernah kesal, mendapati anak memegang gadget terus terusan. Rupanya anak main games, dengan kawan sekelas tapi dari rumahnya masing-masing. Teriakan saling menyalahkan atau koordinasi, saya dengar sekilas sekilas.
Saya kehabisan cara menasehati, ujung-ujungnya terpancing emosi. Kalau sudah perang mulut, mood ayah dan anak jadi terganggu. Merembet ke mana-mana, seharian bawaannya musuhan melulu.
Achmad
Irfandi, menangkap kegelisahan kolektif pada umumnya orangtua. Sehingga pada 1
April 2018, terpantik ide, membuat Kampung Lali Gadget (KLG), di Pagemgumbuk,
Wonoayu, Sidoarjo.
Program KLG terbentuk, berangkat dari kekawatianr Irfandi terhadap bahaya kecanduan gadget terutama pada anak-anak. Dan KLG mengajak anak-anak, belajar tentang kebudayaan, pengetahuan lokal, aktivitas fisik, pengetahuan hewan, dan permainan tradisional.
Sehingga
perhatian dan energi anak teralihkan, sedikit demi sedikit mengurangi
ketergantungan pada perangkat elektronik. KLG sangat berperan, memberikan
pemahaman anak soal budaya dan nilai-nilai lokal.
Seneng membayangkan, anak-anak bermain permainan orangtuanya semasa kecil. Permainan yang membuatnya bergerak, sehingga energi terpakai maksimal.
Irfandi
memendam harapan besar, KLG terus bertumbuh dan menjelma sebagai desa wisata. Agara
orangtua dan anak tertarik, berkunjung dan berwisata sekalian mengikuti program
yang diselenggarkan.
---
---
Mewujudkan
KLG butuh effort yang tidak sebentar, Irfandi dan team memulai dengan kegiatan
literasi. Yaitu melukis, mewarnai, bercerita, membaca karya tulis dan lain
sebagainya.
Diadakan di sebuah taman, yang biasa untuk kegiatan RT di Dusun Bender, Desa Pengmgumbuk, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo. Taman yang asri dan rindang, memberikan naungan dan lahan pertanian.
“Semakin
ke sini saya semakin belajar. Oh, ternyata bermain sangat penting untuk tumbuh
kembang anak,” ujar lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Surabaya ini.
Warga menyambut dengan antusias dan suka cita, pun anak-anak seperti menemukan dunianya yang sejati. Yaitu dunia bermain, sesuai dengan panggilan hati nurani.
Melihat
peminat yang semakin banyak, Irfandi dan team memikirkan pengembangan yaitu bidang
usaha. Yaitu menciptakan benda kenang-kenangan, souvenir, menjual alat
permainan tradisional.
Irfandi,
memasukan nilai-nilai pendidikan melalui permainan tradisional. Seperti soal
solidaritas, setia kawan, kerjasama, dan lain sebagainya.
“Dari
situ kami sadar, bahwa nilai-nilai pendidikan, ya dibantu lewat situ,” tutup
Irfandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA