Setiap mebaca kisah perang masa Rasulullah, benak ini terbayang hamparan gurun sahara dan bukit nan gersang. Betapa setiap orang musti waspada, membaca tanda tanda alam musti dengan penuh perhitungan.
Saya seperti terngiang, pekik semangat kepahlawanan para sahabat. Derap kuda, kilatan dan denting suara pedang yang beradu, berbaur selaksa debu yang membumbung di udara.
Jiwa-jiwa mujahid mengagumkan, bersemangat baja tak sejengkal surut langkah. Abai hasutan dan komentar
menjatuhkan, teguh pendirian tak mudah goyah. Mereka yang membela keyakinan, adalah pejuang tak kenal rasa gentar.
Lalu, bagaimana sikap Rasullulah menanggapi anak-anak ?
Di sebuah majelis ilmu, saya menyimak kisah Rasullulah pulang dari peperangan. Bocah kecil menghampiri Baginda Nabi, meyatakan keinginan untuk ikut berperang.
Rasulullah tak mengecilkan niat si anak, meminta si anak melompat dan diukur tinggi lompatannya. “Kelak, kalau tanganmu bisa menggapai batang pohon itu, tandanya kamu sudah boleh ikut berperang,” begitu kira-kira dialog terjadi.
Berjuang adalah fitrah setiap manusia, bahkan keinginan itu bisa muncul dari anak kecil. Dan kelak di kemudian hari, bocah yang berdialog dengan Rasul benar menjadi mujahid.
------
Setiap jaman dengan kisah berbeda, namun esensi diemban tetaplah sama. Bahwa berjuang, tidak selalu di medan perang seperti masa Rasulullah atau masa kemerdekaan Republik tercinta.
Peperangan teraplikasikan di banyak situasi , pun di berbagai bidang pekerjaan. Seorang dengan profesi apapun, distulah tempatnya berjuang. Dia yang tekun dan benar di pekerjaannya, niscaya membawa nilai dan esensi perjuang
Seorang kasir adalah pejuang, ketika tidak memanipulasi harga merugikan konsumen. Pedagang pejuang, ketika tidak curang menaikkan harga sepihak. Polisi pejuang, tidak mencari-cari kesalahan pengemudi yang melintas.
Setiap guru adalah pejuang, ketika dengan tulus mengajarkan pengetahuan dimiliki. Ya, setiap orang bisa menjadi pejuang, ketika bertahan pada dinilai-nilai kebaikan.
Pun setiap orang sangat bisa, tergelincir menjadi pecundang saat menciderai nilai-nilai yang seharusnya diemban seorang pejuang.
--------
Sejak berkeluarga dan memiliki buah hati, saya terus belajar menjadi suami dan ayah yang baik. Saya menemukan medan perjuangan, mempengaruhi banyak keputusan dalam banyak hal.
Sebagai suami dan ayah, saya mengemban tugas mulia kehidupan. Peran kepala keluarga inilah, membuat saya berpikir panjang sebelum melangkah. Semangat menjadi suami yang baik, adalah lahan perjuangan.
Wahai para ayah, kalian adalah pejuang. Persembahkan nafkah halal dibawa pulang, menjadi hadiah terbaik untuk anak dan istri. Semua ayah adalah pejuang, tidak mudah patah arang karena orang tercinta akan (sitri dan anak-anak) menyertai dalam hembusan doa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA