Pavilion Indonesia sukses
menggelar 2 talkshow di Hong Kong International Film Festival & TV Market
(FILMART). Talkshow pertama bertajuk "A Close Look at Indonesia’s Film
Industry" menyoroti pertumbuhan signifikan industri film Indonesia dalam beberapa
dekade terakhir.
Menghadirkan empat pembicara
utama, yaitu Alex Sihar (Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI), Reza Servia (Produser StarVision Plus),
Shanty Harmayn (Co-Founder & Co-Chief Executive Officer BASE Entertainment),
dan Yulia Evina Bhara (Produser KawanKawan Media), dengan Naman Ramachandran
dari Variety sebagai moderator.
Alex Sihar, mengungkapkan
“saat ini beragamnya tema yang diangkat dalam film-film Indonesia memperkaya
industri film, pertumbuhan jumlah layar hingga pun mencapai 2700 layar pada
tahun 2024, dari jumlah sebelumnya hanya sekitar 700 layar di tahun 2006. Serta
peningkatan kualitas produksi film dengan penggunaan bahasa daerah dan dialek
daerah memiliki daya tarik tersendiri bagi pasar di Indonesia,” tuturnya.
Perkembangan industri film
juga terlihat dari pengolahan Intellectual Property (IP) di industri film
Indonesia. Shanty Harmayn, Co-Founder & Co-Chief Executive Officer BASE Entertainment,
membahas tentang keberhasilannya mengembangkan IP Gadis Kretek bersama Netflix.
Gadis Kretek yang awalnya hanya berupa novel, menjadi sebuah seri web yang
sukses secara lokal dan internasional.
Sementara itu, di Indonesia, pengembangan IP lain juga sudah terbukti sukses, seperti adaptasi novel Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 menjadi beberapa judul film dan produk makanan coklat juga menjadi bukti kesuksesan dalam pengembangan IP.
Dalam penutupan diskusi,
produser Yulia Evina Bhara menekankan pentingnya mengembangkan sumber daya
manusia dalam industri film Indonesia, baik dari sisi pembuat film maupun
talenta akting.
Di talkshow kedua, dengan tema
“Capturing Wonderful Indonesia: Film Locations and Production Assets”,
menghadirkan Shierly Kosasih (COO Adhya Pictures), Celerina Judisari (CEO
Mahaka Pictures), Dwi Heriyanto (Direktur Utama Perusahaan Produksi Film Negara
- PFN) selaku pembicara, dan dimoderatori oleh Linda Gozali (Produser Magma
Entertainment).
Para pembicara menitikberatkan pemaparan tentang kesiapan Indonesia dalam berkolaborasi dari segi lokasi syuting, infrastruktur, dan aktivitas film di Indonesia, dengan harapan dapat mengundang kolaborasi lebih lanjut dalam mengangkat keindahan dan kekayaan Indonesia melalui lensa kamera.
Salah satu contoh film
kolaborasi Indonesia dengan rumah produksi internasional yang berjudul Forza,
memilih Bali, Indonesia menjadi salah satu lokasi syutingnya. Selain Bali,
Indonesia juga memiliki banyak destinasi lainnya, yang mumpuni untuk menjadi lokasi
syuting. Di antaranya ada lima Destinasi Super Prioritas (DSP), yaitu Danau
Toba di Sumatera Utara, Borobudur di Jawa Tengah, Mandalika di Nusa Tenggara
Barat (NTB), Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT), serta Likupang di
Sulawesi Utara.
Kabar baiknya, bagi rumah produksi, agen, maupun filmmaker internasional yang ingin memproduksi filmnya di Indonesia, dapat mengakses platform Indonesia Film Facilitation (IFFa), yang didedikasikan untuk menyediakan layanan produksi film di Indonesia. Salah satu contoh film internasional yang pernah melakukan syuting di kawasan Indonesia adalah film Monkey Man karya Dev Patel.
Ia memilih salah satu lokasi
pedalaman Indonesia sebagai pelengkap di dalam filmnya. Harapannya, dengan pemaparan
ini akan membuka peluang kolaborasi internasional dalam hal produksi film.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA