Saya yakin, nama A Fuadi sudah tidak asing
lagi. Novel Triloginya”Negeri 5 Menara”, “Ranah 3 Warna” dan “Rantau 1 Muara”, telah
melambungkan namanya sebagai penulis. Dan ingin mengikuti jejak novel trilogi,
sang penulis mempersembahkan novel Anak Rantau.
Saya yang perantau menyepakati, betapa
challenging-nya dunia rantau. Seorang perantauan, dituntut belajar akan banyak
hal. Mengatasi masalah keseharian, perlahan-lahan
(secara alami) berdiri di atas kaki sendiri.
Fuady mengutip hadist yang dipercayai anak
pesantren, “orang yang berjalan jauh untuk menuntut ilmu akan didoakan Malaikat
bahkan ikan di laut.” (cuplikan hadis ini juga ditulis di “Negri 5 menara”).
---
Anak Rantau, bisa menjadi representasi
kondisi terjadi di negara kita. Saat ini euforia Pilpres, tak ayal menorehkan luka.
Perang umpatan di medsos, debat kusir yang berlarut. Bahkan ada yang
mengungkit, kejadian di Pilpres lima tahun silan.
Bahwa luka yang dalam, sangat mungkin tidak
kunjung sembuh. Dua pihak berseberangan, selalu melihat satu peristiwa dari dua
sudut pandang.
“Luka fisik bisa diobati, kalau luka hati dan luka batin susah diobati,” ujar Fuady.
Anak Rantau, menampilkan karakter Hepi,
anak kota yang diajak ke kampung ayahnya untuk diproses menjadi orang baik. Di
kampung si ayah, Hepi menemukan teman baru dan orang orang yang terluka.
Salah satunya kakeknya sendiri, yang pejuang di masa kemerdekaan dan dilukai kebijakan negara sendiri. Ssampai akhirnya si kakek tercerahkan, bahwa sakit hati hanya menambah beban luka. Obatnya hanya satu, yaitu memafkan dan melupakan.
Tema merantau, menjadi romantisme penulisnya
akan danau Maninjau, kampung halamannya. Yang kemudian dibalut tema detektif,
menampilkan karakter datuk dan anak muda terkena narkoba. Namun pesan kuat novel Anak Rantau, adalah
mengobati luka untuk menumbuhkan banyak maaf pada masa silam.
Novel dengan 370 halaman ditulis selama 4 tahun, mencakup pengeraman ide dan riset. Fuady mengaku kesulitan mengembangkan cerita, namun setelah riset, wawancara dan permenungan akhirnya ketemu ruh cerita.
Fuadi menempel mind map di dinding kamarnya, guna membantu garis besar tulisan. Agar
ide ide bermunculan, sempat tinggal beberapa waktu di kampung halaman. Ngobrol dengan alim ulama,
tokoh adat dan perantau yang sudah kembali ke kampung. Untuk memperkuat kisah
tetang narkoba, Fuady melakukan riset kepada intel BNN.
Miftah Sabri, CEO Selasar, adalah orang yang membaca Anak Rantau saat masih dalam bentuk draft. Mengakui membaca tokoh Hepi, seperti membaca perjalanannya sendiri. Mengingat dirinya yang piatu, ibundanya berpulang tak lama berselang setelah kelahirannya.
Miftah dibawa ayahnya ke kampung, sehingga
sangat bisa merasakan suasana hati Hepi. Miftah kagum, novel Anak Rantau
ditulis dengan gaya bahasa sederhana. Berangkat dari point of view, karakter Hepi
yang anak puber.
“Potret yang ada di buku ini, terjadi dan ada di seluruh daerah di Indonesia. Fuady bagaikan sosiolog, memotret sebuah kampung yang mewakili kampung di negeri kita,” tambah Miftah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA