Beberapa
waktu silam, di kompasiana menampilkan HL kabar duka kepergian super Admin.
Sontak memantik Kompasianer, menuliskan kesan-kesan dengan almarhum. Terutama
yang mengenal secara pribadi, atau kenal melalui tulisan-tulisan di Kompasiana.
Saya termasuk, di kategori terakhir (hanya via tulisan)
Jujurly, membaca beberapa artikel kompasianer. Saya merasakan getaran, termasuk rasa kehilangan yang mendalam (alm) Taufik H. Mihardja. Kesan yang tertangkap dari kebersamaan, interaksi, canda bahagia tiba-tiba menguasai benak.
Sebagai
sesama muslim, saya turut melangitkan doa. Semoga setiap rangkaian kebaikan,
sekecil apapun itu. Menjadi jalan untuk balasan ganjaran tertinggi, yaitu surga
aamiin. Seperti janji Sang Khaliq, tak luput membalas sekecil kebaikan hamba-NYA
meski sebesar biji sawi.
-----
Menangkap fenomena yang ada, seketika
saya berbalik ke peristiwa pernah saya alami. Ketika ayahanda berpulang, rasa
duka mendalam menyelimuti hati. Bertubi kenangan lampau, seolah memutar bak bioskop.
Gambar hitam putih muncul, berisi kilasan peristiwa pernah saya dan ayah lewati
alami bersama.
Kejadian yang dulu biasa saja, mendadak sangat berarti dan menguras emosi. Bola mata terasa basah, ketika kenangan-kenangan itu. Teringat senandung nyanyian ayahanda, ketika menidurkan saya. Tangan hangat mengusap usap punggung kecil saya, membangungan dan mengajak anaknya bangkit dari tempat tidur.
Sesaat selepas kepergian ayah,
semua yang ditinggalkan begitu berarti. Selaksa memori terasa sesak, tentang
sosok ayah yang sederhana tetapi istimewa. Terbayang sepatu sol tipis, warna
kulit hitam itu telah memudar. Sisiran klimis dengan minyak rambut cair, kesetiaan
membelah pematang menuju sekolah desa.
Pengorbanan almarhum, menjadi sebuah validasi tanggung jawab. Termasuk motor buntut, yang dibeli demi dipakai anak tertua. Ayah mengalah ke sekolah berjalan kaki, sampai masa pensiun itu tiba.
Secara jasad ayah sudah tiada,
namun kehadirannya justru kuat di hati. Bahkan sampai tulisan ini dibuat,
artinya hampir delapan belas tahun almarhum dalam tidur panjangnya. Perasaan
ada itu, terasa lekat di sanubari.
Mengingatnya membuat membiru rasa rindu, dan saya menyadari betapa "ada" itu sanggup mengabadi. Kita manusia sebelum lahir ke dunia, ruh kita telah bersemayam di ruang yang lain. Sampai akhirnya ditiup di rahim ibunda kita masing masing, lahir dan melihat indahnya alam fana.
Di semesta dunia ini, manusia
hadir secara ruh dan jasad. Sampai waktunya tiba, jasad dikubur kembali ke asal
(yaitu tanah). Maka kita kembali ke alam ruh, alam yang sudah kita huni sebelum
lahir. Maka kalau ada istilah, dunia menjadi ladang cocok tanam, adalah benar
adanya.
Dunia adalah medan penguji, terserah tanaman apa kita tingalkan nanti. Bagi yang menanam budi, akan berbeda dengan penanam dusta. Masing-masing akan melekat, pada pelakunya.
Dan kenangan setiap orang di
benak sesama, membuktikan “ada” itu abadi. Tugas kehidupan adalah, bagaimana
berbuat terbaik agar “ada” kita tentang hal baik.
Sejanak mari renungkan, nama nama besar terpahat di sejarah kehidupan manusia. Para manusia pilihan, Rasul, Nabi, penyuluh ilmu, pembela kebenaran, dan segala pesohor di aneka bidang. Nama mereka dikenang, karena apa yang pernah mereka lakukan selama hidup.
Secara
jasad tiada, namun nama para suhada itu meng"ada". Bahkan seperti nabi
nabi pilihan, mereka ada dan mengabadi. Terbukti meski telah melampaui masa,
nama mereka tetaplah hidup di hati pecintanya.
Keteladanannya
terasa hidup dan dipelihara sampai detik ini, menjadi rujukan hingga umat akhir
jaman. Ya, ada itu abadi, smoga setiap orang yang teguh di jalan kebaikan, akan
turut dalam mengabadinya ada. – Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA