Bahagia itu istimewa, tidak terlalu kaku dan terpaku pada
satu keadaan tertentu. Kebahagiaan itu sederhana, bisa datang pada tak melihat kasta.
Kebahagiaan itu nyata, tak segan bersemayam di hati siapa saja.
Kebahagiaan suami semestinya tumbuh, ketika mendapati istri
nyaman dengan kerelaan melewati segala cuaca kehidupan bersama. Kebahagiaan seorang ayah seharusnya tiba,
melihat keceriaan ada di wajah anak-anak, melalui kebersamaan yang dicipta.
Kebahagiaan tidak selalu identik, dengan kepemilikan bendawi atau
pencapaian prestasi. Pada saat sedang tidak
berpunya sekalipun, bukan alasan sebuah kebahagiaan menjauh dan enggan datang mendekat.
-00o00-
Saya
ingat, kejadian jelang pergantian tahun 2018. Kami keluarga kecil pulang
kampung, bulek (adik dari garis ibu) punya
hajatan menikahkan ragilnya. Perjalanan kami
rencanakan jauh hari, karena harus berhitung biaya tiket dan segala keperluan.
Sebenarnya, bisa saja saya pulang sendiri (tanpa anak istri), tapi dengan beberapa pertimbangan ahirnya kami pulang berempat. Kebetulan anak mbarep libur pondok, pasti butuh refreshing sekaligus penghiburan agar tidak jenuh liburan di rumah saja.
Demi penghematan saya berburu ticket kereta, sembilan
puluh hari (dihitung mundur) sebelum hari keberangkatan. Strategi yang manjur, kemi
mendapat seat harga promo.
Meski demikian ada sesi jalan-jalan, setidaknya lokasi wisata terdekat. Mumpung kumpul keluarga besar, jarang-jarang bisa jalan-jalan bareng.
Perjalanan dimulai—Suasana stasiun kereta Pasar Senen, riuh rendah penumpang.
Saya menyelesaikan urusan keberangkatan, sebelum sampai di peron. Keceriaan anak-anak
tidak bisa disembunyikan, cukup antusias sejak persiapan di rumah. Tas ransel di punggung anak-anak, mereka berlaku bak
petualang.
Keseruan berlanjut di sepanjang perjalanan di gerbong kereta, bermain tebak-tebakan, kakak menggoda adik, tertawa bersama dan pulas karena kecapekan.
Menikmati pemandangan, melewati petak demi petak sawah, melihat
pohon satu berkejaran dengan pohon yang lain. Membuka bekal, menikmati menu dibeli
dari warung padang, membuat perjalanan semakin semarak.
Semangat anak-anak berbaur sukacita, membumbungkan perasaan riang tak terbilang kata. Kemana lagi bahagia si ayah hendak dicari, semua sudah tersaji di depan mata.
Sebelum adzan subuh, kami beranak pinak sampai di kampung halaman. Anak-anak dan istri berbaur sanak kerabat, setelah sekian waktu tidak berjumpa. Berfoto bersama dengan mempelai, menyerahkan kado terbungkus cantik, yang sudah kami siapkan sekian bulan lalu.
Keesokan harinya kami ke tempat wisata terdekat, di kaki
gunung lawu. Biaya piknik dibicarakan ditanggung bersama, agar tidak ada
ganjelan sesama saudara. Canda tawa cermin kebahagiaan, meski hanya piknik
tipis tipis.
Melihat istri dan anak-anak tertawa lepas, saya tak kalah bahagianya. Seorang pecinta, rela memasang badan bagi pecintanya. Rela berkorban tanpa berhitung untung rugi, tehadap persembahan bagi orang dikasihi,
Muasal bahagia abstrak, bisa diupayakan dengan menyertakan
hati. Para ayah yang mencintai keluarga, sejatinya telah mencintai diri sendiri
– semoga bermanfaat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA