Masa sekarang, penjahat
kelamin alias pelaku kekerasan seksual bisa muncul di mana-mana. Tidak ada di
lingkungan terdekat, bahkan muncul di transportasi massal.
Sering kita baca atau dengar
berita, paman, saudara, bahkan ayah kandung menodai anak gadis sendiri. Sementara
penjahat kelamin di ruang publik, biasanya beraksi di jam sibuk, alias jam
berangkat dan pulang kantor. Sungguh miris,
sekaligus prihatin tentunya.
Tersebutlah nama Justitia
Avila Veda, sosok perempuan tangguh pendiri Kolektif Advokat untuk Keadilan
Gender (KAKG). Sebuah jasa konsultasi
dan pendampingan, bagi korban kekerasan seksual berbasis teknologi.
Idenya berawal dari cuitan di twiiter X, menawarkan jasa konsultasi umum bagi korban kekerasan seksual. Tak lama cuitannya langsung viral, korban berani speak up, pun ada pengacara hingga jaksa tertarik bergabung.
KAKG diinisiasi bulan Juni
2020, telah menangani ratusan kasus kekerasan seksual. Bantuan tidak hanya dari
sisi hukum, juga jejaring penyedia jasa pemulihan psikologis, medis, dan sosial
bagi korban selama penyelesaian perkara.
Untuk menjalankan program di KAKG, telah merekrut relawan berlatar belakang advokat. Pasalnya profesi advokat, memiliki tanggung jawab probono atau pengabdian masyarakat. KAKG menjadi wadah yang tepat, bagi para pengacara menyalurkan bantuan hukum.
------
Digital sungguh memudahkan kehidupan,
maka KAKG memanfaatkan teknologi untuk layanan hotline. Pelapor bisa
menggunakan instagram atau email, dan laynan dibuka Senin-Jumat pukul
08.00—18.00 WIB.
Mekanismenya simpel, cukup mengisi form dan menceritakan kronologi dialami. Selanjutnya mendapat jadwal konsultasi via telepon, ada dua pengacara standby memberikan konsultasi hukum. Pelapor diberi pertimbangan, soal yang masuk unsur kekerasan seksual. Termasuk penyelesaian hukum/ non hukum, sehingga korban tercerahkan.
Menurut perempuan yang akrab
disapa Veda ini, jika menempuh jalur
hukum bisa memakan waktu sekitar 10 bulan. Mulai proses penyidikan, pelimpahan
berkas, serta pemeriksaan korban. Sedangkan proses penyelesaian non hukum, bisa
lebih cepat sekitar satu pekan.
Sedangkan proses pendampingan pemulihan, tidak bisa diprediksi tenggat pasti. Proses ini membutuhkan waktu sangat panjang, terutama trauma yang bisa sampai seumur hidup. Veda menambahkan, sebaiknya menghindari menyebarkan kasus kekerasan seksual di medsos.
Kekerasan seksual, bisa
mencakup kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pun
pelecehan seksual di ruang publik. Kasus
kekerasan seksual berbasis digital, rentan bagi korban disalahkan dan berganti
status menjadi tersangka.
Kalau tidak hati-hati, pelaku menuntut balik dengan UU ITE atau pencemaran nama baik. Meskipun kini korban kekerasan seksual bisa bernapas lega, dengan diterbitkannya UU TPKS NO 12 Tahun 2022. Tinggal bagaimana memasyarakatkan UU TPKS, di lingkungan tenaga aparat hukum dan pihak yang mengerjakan peraturan tuntutan dimandatkan UU itu.
Perempuan Tangguh Sahabat
Korban Kekerasan Seksual
Veda mengamini, bahwa menjadi
relawan KAKG, bisa dibilang menyita waktu, tenaga, pikiran. Apalagi saat
mendapati penegak hukum, memberikan komentar yang bernada sumbang. Pun saat
kasusnya macet atau berhenti di tengah jalan, muncul rasa sedih, stres, dan tak
berdaya.
Namun Veda merasa senang, bahwa jerih payahnya itu tidak ada yang sia-sia. Mengingat banyak korban mulai berani speak up, membuat relawan semakin bersemangat. Bahkan, kemenangannya di Satu Indonesia ASTRA, semakin menyadarkan perjuangannya bermakna untuk orang lain.
Dari pendampingan korban
kekerasan seksual, bisa mengasah sensitivitas dan kepekaan. Relawan belajar memosisikan
sebagai pendengar, tidak menghakimi, dan menjadi support
system.
“Karena psikolog advokat kayak kami tidak akan stay 24 jam, jadi sangat penting untuk mendengarkan dan tidak judgemental dan menjadi support system yang baik.” Ujar Veda.
Ditanya soal kasus terbilang
unik, yaitu saat menangani anak di bawah 18 tahun. Kondisi korban belum bisa
didampingi lawyer saja, tetapi musti ada orangtua sebagai walinya. KAKG musti
terus koordinasi dengan orangtua, agar anak merasa aman dan terlindungi.
Sedangkan korban yang sudah dewasa,
dituntut bersikap terbuka dan mau menerima. Relawan juga tidak boleh menghakimi,
atau menyalahkan pandangan hidup di korban. Relawan musti merangkul korban,
sehingga merasa tetap aman.
-----
Kolektif Advokat untuk
Keadilan Gender, menjadi Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan 13th SATU
Indonesia Awards 2022. Selain membuncahkan bahagia, juga semangat merangkul
korban kekerasan seksual sampai daerah pelosok.
Sederet rencana sudah disusun, diantaranya menambahkan jumlah pengacara sebagai sukarelawan. Tidak hanya di Jakarta, KAKG bisa representatif di tiap provinsi atau bisa berkeliling di tiap kota.
Yang masih menjadi PR besar,
adalah fakta tak bisa dihindari, hukum dan aturan di Indonesia masih kental adanya
unsur patriarki. Maka tak ada cara lain untuk menaklukkan, selain dengan
melawan. Atau hal simple bagi orang awam, tidak diam saat mengetahui kasus
kekerasan seksual. Setidaknya bantu berteriak atau tindakan, yang menunjukkan
melindungi korban.
Meski sebagai pendamping, juga harus berhati-hati
dengan mengutamakan keinginan korban. Sampai korban merasa dirinya aman, dan
kita yakin dengan kondisi yanng stabil.
“Kedua, jangan jadi bystander (pengamat_red),
karena kita bisa jadi penyelamat orang lain,” tutup Vega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA