Seorang teman, terdampak
penutupan jualan online di tik-tok. Saya
masih ingat, kesibukannya di live tiktok. Dimulai di masa pandemi, ketika ada
pembatasan berkegiatan di luar rumah. Jadwal jualan lumayan sering, bahkan
pernah di tengah malam.
Ketika saya tanya alasan
jualan jelang dini hari, jawabannya sangat masuk akal. Konon di jam prime time,
kebanyakan orang tertarik pada publik figure. Akun artis yang live, biasanya
banyak menarik perhatian. Belum lagi akun dengan follower besar dan centang
biru, akan mendominasi live tik-tok di jam utama.
Tapi kesibukan itu, sementara
ini tinggal cerita. Kalaupun bisa jualan online, platformnya berbeda dan tidak
sepraktis sebelumnya. Keranjang kuning yang tinggal pencet, kemudian bisa
langsung chek out. Kini telah ditiadakan, dan itu sangat berpengaruh pada keinginan
belanja.
Alhasil, teman ini mulai mencari kesibukan baru. Kesibukan yang bisa menambah pundi-pundi, untuk mengganti kegiatan jualan online. Meski proses pencarian itu, tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Memang boleh ya, hidup secapek ini.
-------
Masih tentang teman ini, penghasilan
bulanan dari jualan online lumayan besar. Saya pernah diperlihatkan, omset
jualan kotor yang ratusan juta per bulan. Komisi didapatkan, berdasarkan
prosentase omset jualan.
Hasil dari jualan online-nya, membuat rekeningnya menggemuk. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, ada yang ditabung untuk sekolah anak. Yang membuat saya salut, teman ini rutin transfer ke orangtua. Konon biaya untuk umroh orangtua, ditanggung dari penghasilan jualan online.
Sebelum tik tok resmi ditutup,
sempat direkrut tiga asistant untuk membantu jualan. Paket nyaris saban hari
datang, sampai tidak enak dengan tetangga. Tetapi setelah segala kesibukan berlalu,
kini semua berubah drastis.
Ketiga asistant dirumahkan, seiring dengan menurunnya omset penjualan. Meskipun ada platform jualan online, tapi jauh berbeda dengan tik tok shop sebelumnya. Teman ini memilih mundur, mencari kegiatan lain yang menghasilkan.
Memang Boleh ya Hidup Secapek Ini ?
Dunia ini memang tempatnya
masalah, datang dan pergi silih berganti. Saya juga merasakan, jatuh bangun,
jatuh dan jatuh lagi, bangun, demikian seterusnya dan seterusnya. Tak ayal
sempat diambang putus asa, tetapi ada saja alasan untuk menepsinya.
Ketika keingingin menyerah itu hinggap, sayang terbayang wajah istri dan anak-anak. Mereka masih membutuhkan kepala keluarga ini, dan saya memegang tanggung jawab mulia itu. Tanggung jawab menafkahi, mendidik, merawat, melindungi mereka.
Kalau sedang terpuruk, benak
berbisik, memang boleh ya hidup secapek ini.
---
Karena ketika roda sedang di
atas, masih banyak orang yang jauh di atas kita. Pun ketika sedang terpuruk,
sebenarnya tak kalah banyak yang lebih menderita. Jadi bersikap sewajarnya
alias tidak berlebihan saja, dalam menjalani sedih dan senangnya kehidupan.
Dan kejadian semisal saya
lihat sendiri, terjadi pada orang yang saya kenal baik. Ketika pandemi usahanya
justru meningkat, mobil dan motor parkir memenuhi teras rumahnya. Saya menjadi
saksi, bagaimana kesibukan teman baik ini. Saya ketemu hanya sesekali, saking
jarangnya beliau di rumah.
Tetapi kini berubah drastis, rumah yang ditempati kini dibiarkan kosong. Rupanya masa kontraknya abis, dan entahlah penghuninya pindah ke mana. Beruntungnya pasangan suami istri ini solid, menghadapi jatuh dan bangkit bersama-sama.
Ya, setiap orang bakal
memiliki fase sendiri-sendiri. Jalani saja, dengan sabar, syukur dan ikhlas.
Karena pada dasarnya manusia, lemah dan tiada daya upaya. Sesekali lelah
pikiran, tenaga dan capek hati, itu wajar. Bolehlah istirahat dulu, semeleh
sembari berbisik “Memang boleh ya, hidup secapek ini”.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA