Benar banget, bahwa hidup itu hanya sekali. Hari hari yang melaju, hanya dialami sekali seumur hidup. Suka tidak suka setuju ataupun menyangkal, usia kita terus beranjak dan menua. Dan setiap fase usia, tentu ada tantangannya masing-masing.
Memasuki
pertengahan duapuluhan, biasanya sudah mulai memikirkan menikah. Kalau di Indonesia
umumnya, umur 25 cukup ideal menikah. Meski kenyataannya, harapan tidak sejalan
dengan kenyataan. Banyak diantara kita, lewat sampai kepala tiga bahkan lebih,
belum juga dipersuakan belahan jiwa.
Pengalaman
saya nih, umur 27 itu sudah santer pertanyaan seputar menikah. Kalau mudik
lebaran, kuping memanas dan wajah bisa memerah. “Lu kapan merrid?”,“Sendirian
saja, calonnya mana?”,”Lu ganteng, tapi belum merrid”, dan sebagainya.
Adat ketimuran kita masih kuat, para orangtua gelisah kalau anaknya yang berumur belum juga menikah. Sementara teman sepantaran, satu persatu bersanding di pelaminan dan sebagian memiliki anak.
Menjadi
jomblo tidak mengenakkan, dulu saya dibombardir pertanyaan dan tekanan mental. Ada
yang terang-terangan, ada juga yang nyindir dan nyinyir. Meski ada satu dua punya
niat baik, menawarkan bantuan menjadi mak comblang.
Jomblowan jomblowati, musti menerima dengan lapang, meskipun berkecamuk kesal, marah, dendam dan perasaan lainnya. Butuh ketahanan mental, menangkis stigma (seolah-olah) ‘negatif’ disematkan bagi yang belum menikah.
-----
Menemukan
jodoh, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Menunggu jodoh, membuat
hari-hari terasa panjang. Sungguh melelahkan, menguras energi, pikiran dan
perasaan. Kalau saya dulu, sengaja membaca buku tentang menikah atau buku
bertema keluarga.
Seperti ada dorongan dari benak, yang kemudian saya wujudkan. Yaitu ingin menunjukkan kepada Tuhan, seserius itu saya belajar menjadi suami dan ayah yang baik.
High Quality Jomblo
Bujangan yang belum bersua tambatan hati, sebaiknya mengubah cara berpikir. Bahwa keadaan melajang, bisa dijadikan untuk menyiapkan fisik, mental dan (tentunya) financial. Waktu jeda menuju belahan jiwa, dijadikan energi positif, menghalau omongan nyinyir.
Menjadi
Highh quality jomblo, bagi saya adalah pilihan. Untuk menyikapi orang tidak
suka, balas dengan perlakuan simpatik. Misalnya pada saudara dekat, kunjungani
dengan membawakan bawaan. Kecil kemungkinan, kita yang membawa oleh-oleh masih
dijatuhkan.
Pada teman yang nyinyir, csesekali traktir atau hadiahi barang. Balas perbuatan tak menyenangkan, dengan pemberian benda yang disukai.
Sambil memberikan bingkisan, selipkan kata kata minta didoakan. Agar lekas dipertemukan jodoh, sehingga bisa berumah tangga. Kecil kemungkinan orang menolak pemberian, yang biasa nyinyir minimal akan berkurang kadarnya.
Sementara
kepada orangtua, jangan terlalu berhitung, lebih-lebih lajang yang berpenghasilan.
Melajang menjadi kesempatan tepat, berbakti kepada orang tua tanpa diganggu orang
lain. Misalnya rutin mengirim uang bulanan, semampunya sebisanya.
Sesekali ajak ayah ibu, naik kereta eksekutif atau pesawat, memberikan pengalaman baru yang belum pernah dirasakan. Karena kita tidak pernah tahu, doa dari mulut siapa yang dikabulkan. Bahwa kesenangan yang hadirkan di hati orang, bisa menerbitkan doa.
Menjadi hight quality jomblo/ jomblo bermartabat, selain menghalau nyinyiran, membantu membangun mental lebih kuat. Melajang adalah kmembuka kesempatan, mengasah kesabaran dan leluasa berbuat kebaikan.
Smoga
Bermanfaat--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA