Bagi seorang penulis, seharusnya menulis adalah bagian dari kegiatan keseharian. Layaknya makan minum, tak ubahnya tidur bangun dan bernafas. Hal semisal berlaku, untuk profesi apapun yang menjadi pilihan. Karena bagi seorang profesional, memilih musti dibarengi tanggung jawab.
Penulis bisa diwakilkan,
pekerjaan seorang blogger, jurnalis, pujangga, penulis lirik lagu, penulis
skenario film, dan atau pekerjaan berhubungan literasi.
Bagi orang yang berkecimpung
di dunia kreatif, ide adalah suatu hal yang mahal dan unik. Bahwa ide tidak
bisa dipaksa datangnya, sehingga bisa muncul kapan dan di mana saja saja. Rasanya
sayang banget, kalau ide yang muncul dibiarkan menguap.
Ya, menulis -- bagi seorang penulis--- smestinya menjadi kebutuhan, karena disitulah diri penulis bertumpu. Menyulap kata demi kata, menjadi rangkaian kalimat. Kemudian menyusunnya menjadi cerita, sehingga informasi tersampaikan ke pembacanya.
Bahwa menulis, adalah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, ketelatenan dan ketekunan. Membutuhkan energi luar biasa, dan kalau dinikmati prosesnya niscaya menghasilkan karya besar. Saya kagum penulis produktif, yang karyanya mendapat perhatian khalayak. Orang-orang yang teguh berkomitmen, memiliki stamina dan effort yang tidak sembarangan.
Mereka –penulis-- yang sedang
di atas, telah melewati proses yang panjang. Mula-mula tulisannya, hanya dibaca
segelintir pembaca. Tetapi meeka tak patah arang, karena demikian jalan yang
musti ditempuh. Bahwa ketidakenakan, sebagai cara meningkatkan kemampuan.
Musuh Penulis (sebenarnya) Bukan Sesiapa
Sejak memutuskan berkecimpung di dunia ngeblog, tak terhitung banyak lomba menulis diikuti. Blog competition diadakan berbagai pihak, mulai instansi pemerintah, BUMN, perusahaan swasta, UMKM, brand/produk dan lain sebagainya.
Reward disediakan juga
beragam, ada barang eletronik, gadget,
voucher belanja, staycation di hotel berbintang, plesiran bahkan uang tunai. Tak
ayal, hadiah “wah”, dijamin menarik minat peserta untuk mengikuti lomba.
Saya seperti peserta yang lain, berharap menjadi salah satu pemenang lomba. Berharap nama diri sendiri, tercantum di pengumuman di akhir kompetisi. Kebanyakan, kami --sesama peserta-- saling mengenal. Sehingga diajang lomba tersebut, antar peserta diibaratkan ‘musuh’.
Menulis untuk lomba tanpa embel-embel (ingin menang), kemungkinan tidak semua orang bersedia melakukan. Karena tidak
dipungkiri, menulis butuh energi, pikiran, waktu dan kuota. Perlu revisi dan
edit di sana sini, menulis tidak sekedar menulis.
Maka, musuh penulis, siapa?
Kalau dipikirkan secara
mendalam, musuh penulis atau di bidang prosesi apapun, sebenarnya bukan
sesiapa. Musuh itu, adalah “Diri Sendiri”.
Adalah menyediakan diri,
melawan keengganan, dengan sadar siap bangkit setelah jatuh. Bersedia
menyingkirkan rasa malas, mengeyahkan rasa bosan, setelah menjalani rutinitas –kegiatan
menulis—yang panjang.
Saya blogger, yang kerap kalah melawan ego. Tak jarang tunduk dengan keengganan, takluk dengan kemalasan dan malas membuang kebiasaan tak menguntungkan. Sampai saya menyadari, bahwa untuk sebab sebab tersebut, menjadi muasal diri sendiri sejatinya musuh nyata.
Hal ini berlaku, untuk semua macam kegiatan dan pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA