Home

26 Agu 2022

Musuh Kita tidak di Mana- mana


Menulis adalah “makanan” sehari- hari, baik blogger, jurnalis, penulis dan atau pekerjaan yang berhubungan dengan literasi. Ide bisa muncul kapan saja, rasanya sayang kalau dibiarkan menguap. Menulis bagi seorang penulis, smestinya menjadi keasyikan dan kebutuhan. Layaknya makan minum, yang tidak pernah bosan dilakukan saban hari.

Merangkai kata menjadi kalimat, menyusun menjadi cerita. Adalah pekerjaan, yang perlu ketelitian, ketelatenan dan ketekunan. Kalau dinikmati prosesnya, niscaya bisa menghasilkan karya luar biasa.

Saya kagum dengan penulis yang produktif, karyanya mendapat perhatian khalayak. Tentu dibutuhkan stamina kuat, sejalan effort yang tidak sembarangan.

Maka bagi penulis dengan segelintir pembaca, tak perlu risau dan rendah hati. Jangan dijadikan alasan berhenti, karena proses adalah jalan yang musti ditempuh. Ketidakenakan bisa menjadi kesempatan belajar, meningkatkan kemampuan agar lebih baik

Karena setiap orang punya keunikan, jadi jangan membandingkan diri dengan orang lain. Karena setiap kita, memiliki perjalanan yang berbeda-beda. Bahkan untuk satu cerita serupa, setiap orang memiliki sudut pandang berbeda.

Hal demikian berlaku, untuk semua macam jenis pekerjaan. Tentu memiliki dinamika untuk dilalui, dan membutuhkan upaya tak kenal lelah.

Musuh Kita tidak di Mana- mana

Sejak terjun di dunia ngeblog, saya telah banyak mengikuti lomba menulis. Lomba diselenggarakan berbagai pihak, mulai kantor pemerintah, BUMN, kantor swasta, UMKM, brand/produk dan lain sebagainya.

Hadiah yang ditawarkan juga beragam rupa, ada barang eletronik, gadget, voucher belanja, menginap di hotel berbintang, plesiran bahkan uang tunai. Iming-iming hadiah wah, sungguh menarik minat peserta mengikuti lomba.


Saya dan banyak teman lain, tentu menginginkan satu hal yang sama. Yaitu ingin menjadi pemenang, sehingga nanamua tercatat saat pengumuman di akhir kompetisi. Meski kami (sesama peserta) saling mengenal, tetaplah persaingan tak bisa dihindarkan.

Antar peserta menjadi ‘musuh’, tentu dibutuhkan strategi untuk mengalahkan. Lazimnya sebuah kompetisi, adu strategi adalah sebuah kewajaran.

Menulis untuk lomba tanpa  embel-embel, kemungkinan  tidak semua orang mau melakukan. Karena tidak bisa dipungkiri, menulis butuh energi, pikiran, waktu dan kuota. Perlu revisi dan edit di sana sini, menulis tidak sekedar menulis.

Lalu siapakah musuh seorang penulis atau siapapun dengan profesi apapun?

Adalah “Diri Sendiri”, adalah keenganan bangkit setelah jatuh, adalah rasa malas, adalah kebosanan setelah rutinitas panjang berulang-ulang.

Saya sangat sering kalah melawan ego, menyingkirkan rasa enggan, mengusir kemalasan dan membuang sikap tak menguntungkan itu. Saya tak henti berusaha meluruskan niat, membenahi mental, agar ajek menulis.

Diri Sendirilah, muasal masalah sekaligus solusi. Hal ini berlaku, untuk semua macam kegiatan dan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA