Ayah pulang kerja dengan senyum mengembang, hatinya
riang tanpa beban emosi. Sangat mungkin, membuat yang di rumah merasakan
bahagia. Ibu memasakan nasi goreng kesukaan, bisa menjadi muasal bahagia. Hari
minggu sekeluarga naik kereta, bisa jadi bahagia hadir bersama.
Ayah laksana pusat galaksi keluarga, sementara ibu
ibarat planet mengitari. Dan anak anak diibaratkan gemintang, menghiasi tata
surya bak menebarkan mutiara. Ketika setiap anggota keluarga memiliki peran,
niscaya damai dan tentram bersemanyam.
Janganlah ayah merasa, sebagai pencari nafkah makan menjadi
orang paling berkuasa. Kalau sikap ini dipertahankan, maka belahan jiwa dan
buah hati tak nyaman. Mengganggap dirinya sebagai beban, sehingga laku
keseharian tidaklah
---
Bepergian bersama, bisa dijadikan moment istimewa. Kesempatan ayah, membahagiakan istri dan anak-anak. Menerbitkan sumringah kekasih hati, menjadi suka cita tak terdefinisi. Saya mengalami di akhir tahun lalu, ketika sekeluarga ke kota gudeg. Sebuah perjalanan tak berbiaya mahal, layaknya backpacker pada umumnya.
Demi menyiasati pengeluaran, jauh hari mempersiapkan dari
sisi budgeting. Yang utama adalah berburu ticket kereta, sejak tiga bulan
sebelum hari keberangkatan tiba. Akhirnya, kami mendapat seat promo yang diincar. Untuk
empat kursi, harganya relatif ramah di kantong.
Urusan menginap juga unik, meminjam ruangan di rumah saudara yang kebetulan kosong. Untuk biaya makan, kami masak dan membeli. "Ah serunya" benak ini membayang akan waktu yang hendak kami lalui.
Menyiapkan Masa Senja dengan Menyintai Keluarga
Suasana keberangkatan, ayah pemegang kendali di stasiun. Mulai print ticket, menggiring anak-anak ke ruang tunggu, dan seterusnya, sayalah pemimpin rombongan. Keceriaan anak-anak mulai terasa, mulai dari prosesi antrean menuju petugas pemeriksaan.
Kecuali melihat anak dan istri gembira, kecuali
menyaksikan senyum bahagia dari orang-orang dicintai. Tak ada alasan lain, yang
melahirkan rasa bahagia.
Kejadian semisal, bisa diulang dalam skala kecil atau besar. Dalam suasana sempit ataupun lengang, sehingga senyum itu tetap ada. Karena memang semestinya ayah, bersedia menghadirkan dirinya di hati pecintanya.
Ayah dengan predikat dicinta, adalah ayah yang rela memasang
badan bagi pecintanya. Tak usah berharap besar balas, jerih payah itu menjadi
ukiran sejarah perjalanan di hati anak dan belahan jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA