Sungguh, pandemi membawa banyak sekali hikmah. Tentang kesadaran (yang baru diamini), bahwa manusia itu sangat lemah. La qaula walla quata illa bilah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali pertolongan Allah semata.
Secara pribadi saya sempat
merasa, seperti berada di titik nadir kehidupan. Keadaan, yang belum pernah
saya rasakan sebelumnya. Situasi yang membuat terpuruk, dan tidak punya plihan
kecuali pasrah berserah.
Pandemi, mengajari tentang energi
doa dan pengharapan. Sehingga masih bisa berdiri, meski kaki rasanya tak sanggup
menopang badan. Tetap memupuk asa, meski
jalan-jalan berkelok dan sulit tengah dititi.
Bahwa jatuh tersungkur itu nyata
adanya, bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja. Bahkan perencana kehidupan handal
sekalipun, harus takluk dengan kenyataan. Bahwa yang diusahakan, bisa saja
hasilnya sangat jauh dari bayangan.
------
Namun di satu sisi, pandemi
menumbuhkan hal baru. Sebuah prespektif, untuk lebih berhati-hati bersikap dan
berucap. Bahwa manusia bukan makhluk sempurna, sangat sering dikuasai ego. Seketika
saya tersadarkan, betapa banyak dosa kesalahan. Selama ini dilakukan, entah
sengaja atau tidak, bahkan masih sebatas bersitan niat.
Dan duka, telah membuka lebar
dua bola mata. Bahwa diri ini, sangat jauh dari kata ideal. Bahwa kebaikan-
kebaikan ditampilkan, sangat mungkin disusup dan sisipi maksud buruk. Meski
sehalus helai rambut, niat jahat tetaplah sebuah niat jahat.
Pandemi dua tahun terakhir, menggores luka. Namun kalau tidak demikian keadaan, kemungkinan dewasa tak didapat. Kita musti meyakini, bahwa tak ada yang sia-sia dalam kasih penciptaan-NYA. Kecuali untuk satu tujuan, yaitu kebaikan manusia itu sendiri.
Percayalah, niscaya duka akan
mendewasakanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA