Skenario
kehidupan (di dunia) ini, sedemikian dahsyat dan luar biasa. Sedetil kejadian,
terkandung selaksa hikmah tak dinyana. Kita yang musti membekali diri dengan ilmui,
agar bisa memetik pelajaran di setiap detik kejadian. Betapa di setiap peristiwa,
sungguh tiada sia-sia yang dihamparkan- NYA.
Bahwa
datang dan pergi adalah keniscayaan, tak ubahnya malam yang pasti dijemput fajar.
Hidup tidak berhenti di satu titik, terus mengalir menuju muara kehidupan itu
sendiri. Diri yang memutuskan, bagaimana
menyikapi setiap kejadian.
-----
Sebuah status medsos, berkelebat di time line. Tentang kehilangan ayah, yang dituliskan begitu runnut dan cukup menyentuh. Saya lebih dulu mengalami, sekira enam belas tahun ayah berpulang. Sesak dada si penulis status, turut saya rasakan.
Tetapi dibalik kesedihan mendalam, kita diajarkan tentang sebuah keikhlasan. Bahwa sebesar apapun kecintaan (pada orang tua, pasangan hidup, anak, kepemilikan), semua bukan milik dan hak kita. Bahkan diri sendiri, nyatanya ada yang lebih berhak memiliki.
Apalagi
sekedar, kepemilikan bendawi. Semisal rumah, kendaraan, tanah ladang, perhiasan,
harta karun lainnya. Suatu saat pasti akan ditinggalkan,
tanpa bisa dibawa.
Karena Memang Sudah Semestinya
Sebuah novel, berlatar kejadian kelabu G.30. S/ PKI tahun 1965. Berhasil memantik pencerahan di benak saya. Mengisahkan seorang dalam persembunyian, merasa hanya memiliki sebiji nyawa lainnya tidak. Selama dalam pelarian, lelaki ini menemukan sebuah kesadaran baru.
Bahwa
kejadian (apapun) dialami, tak lebih dari buah perbuatan diri sendiri. Suka tidak
suka, senang tidak senang, manusia musti menerima. Musti menjalani yang namanya suratan.
Saya seperti diingatkan tentang satu hal, bahwa akan tiba waktu karma berlaku. Ketika menyakiti orang lain, suatu saat balasan tiba. Bisa saja yang membalas bukan yang tersakiti, tetapi hukum alam bekerja sebegitu adilnya.
Kejadian seperti kehilangan dompet, motor mogok padahal buru-buru, sudah antre tiket ternyata kehabisan, terpleset di jalanan licin, dan seterusnya. Semua kejadian itu tidak berdiri sendiri. Setiap kejadian berkelindan, memiliki keterhubungan dengan kejadian lain.
Kalau sedang apes, sedang dicurangi, sedang dinistakan, sedang didustakan, disikapi sewajarnya saja. Pun saat bergelimang keberuntungan, dalam kenyamanan, berselimut kesenangan, jangan hanyut dalam kelenaan.
Karena sejatinya, bahan ajar bersabar dibentangkan oleh semesta. Termasuk ruang bersyukur sedang dibukakan, agar diri tidak lupa daratan. Bahwa apapun yang terjadi saat ini, adalah terbaik versi kehidupan. Meski dibungkus kesedihan, keceriaan, kehilangan, kebahagiaan.
Hakekatnya semua terbaik, dari sudut pandang Sang Pemilik Kehidupan. Karena memang sudah demikian semestinya, takdir kehidupan bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA