Saya yakin, setiap orangtua pasti ingin buah hati yang soleh/ hah. Anak dengan tumbuh kembang sempurna, sehat baik fisik maupun mental. Harapan ideal tersbeut, sangat- sangat wajar. Meski untuk semua itu, sebuah prasyarat proses dengan sadar harus dijalani.
Orangtua
berusaha sebisanya, mempersiapkan putra putri sedini usia. Membekali kecakapan soft
skill dan atau hard skill, agar menjadi pegangan anak survive di masa dewasa. Kelak mereka, yang meneruskan estafet
kehidupan.
Agama
menuntun, bahwa membentuk generasi penerus dimulai dari orangtua. Calon ibu dan
calon ayah, terus memantaskan diri menjadi orangtua mumpuni. Belajar dan tak
henti soal keilmuan, mengantarkan menjadi orangtua tangguh.
Memilih lingkungan pergaulan yang baik, agar dituntun mendapatkan belahan hati sekufu. Menikah dengan pasangan yang saling support, menguatkan satu dengan yang lain. Sehingga segala sikap keputusan, kelak bisa menjadi keteladanan anak keturunan.
Perjalanan
menjadi orang tua, bisa diibaratkab mendaki perbukitab. Dijamin melalui banyak
tikungan dan liku-liku terjal, bakal memeras rasa dan raga.
Bukankah jiwa keayahan dan keibuan teruji, setelah melampaui onak duri itu. Tanpa melewati perjuangan memeras energi dan air mata, mustahil kekokohan akan terbentuk.
----
Sebuah
buku berjudul "Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi", berisi kisah keseharian
si penulis (Neno Warisman) bersama tiga putra putrinya. Sulungnya Gifari, anak tengah
Maghfira, dan bungsunya Raudya (dipanggil Odi). Sang ibu layaknya ibu pada umumnya,
mengajak buah hati memaknai kejadian agar memiliki value bisa dipetik.
Misalnya di bab tentang “jatuh cinta" Maghfi pada Nabi Musa. Gadis kecil memohon sang ibu, memperdengarkan kisah ini berulang ulang. Permintaan disampaikan mulut sejatinya atas perintah otak, dan pengulangan ibarat proses penebalan informasi. Semakin sering informasi (cerita) dikabarkan, maka semakin menancap di benak si penerima.
Maghfi
(saat itu lima tahun), menatap lembayung senja bersama ibunya. Tak lama
kumandang Adzan maghrib, si ibu pamit mengambil air wudhu. Gadis kecil
menggeliat memungut boneka yang jatuh, tetap duduk tak bergegas bangkit
mengikuti ibunya. Justru asyik dengan boneka di tangan, sengaja duduk bergeming.
Si
ibu mengelus hati, mengawali dari tokoh dikagumi gadisnya yaitu Nabi Musa.
Bagaimana Sang Nabi menomorsatukan Sang Pencipta, melebihi apapun yang ada di
muka dunia. Ya, kesukaan anak, dijadikan senjata ibu yang gundah. Agar tumbuh
keinginan anak, melaksanakan shalat tanpa dipaksa apalagi
"diintimidasi".
Neno, ibu dengan background ilmu teater. Membangun keseharian di rumah, layaknya panggung drama dengan naik turun emosi berdinamika. Sekecil hikmah, akan menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Misalnya tentang permainan ular tangga, yang dijadikan entry point luar biasa.
Bungsunya sering kalah, bahkan saat hampir mencapai kotak di angka seratus. Ada jebakan maut di angka 98, tersedia ekor ular yang memerosotkan penghuni ke kotak lebih rendah. Layaknya di medan peperangan, kakak dan ibu tak rela kemurungan di wajah bungsunya.
Ibu
dan tiga anak bersepakat, melibatkan Allah dalam segala hal. Ketika langkah
bidak kecil di baris atas, giliran Raudya berjalan. Hanya dengan tiga kotak
lagi, maka kemenangan akan menyelamatkannya.
Sebelum
dadu dikocok ketiganya berdoa khusyu, agar
angka yang keluar berpihak pada gadis cantik ini. Detik ke detik berjalan begitu lambat, jarum
jam seperti ditarik ujung magnet. Setiap kocokan iramanya melambat, seolah gerakan
slow motion sebuah film.
-KLUTIK-
dadu terjatuh ke lantai
Wajah penasaran melihat bulat kecil di sisi dadu. Ketiga pasang mata melotot tak berkedip, dan tampak tiga titik kecil warna hitam bergelempang di sisi dadu paling atas. Ibu dan dua anak bersorak, memecah udara di ruangan. Kemenangan itulah, yang menyelamatkan hati Raudya.
---
Buku
“Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi", bisa menjadi cerminan hubungan orang
tua. Sebagai ayah dua anak, merasa terus belajar banyak ilmu pengasuhan.
Perjalanan
mejadi orang tua, adalah perjalanan
kesejatian yang memerlukan kesabaran, ketekunan tak berbatas. Perjalanan
menjadi orang tua, tak usai bahkan setelah anak-anak menikah, kemudian mempersembahkan
cucu. Ayah dan ibu tetaplah orang tua,
yang akan melapangkan dada. Menerima dengan dua tangan terbuka, meraup setiap
duka buah hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA