Penyakit kusta, sebenarnya bukan penyakit baru. Saya sendiri, mengetahui kusta sejak berseragam merah putih. Dulu tahun 80-an ada sinetron TVRI, mengangkay kisah tentang orang dengan penyakit kusta (odpk). Diceriitakan di film terebut, odpk dijauhi warga dan mendapat stigma buruk.
Hal ini rasanya relate, dengan
perbincangan di Ruang Publik KBR, bahwa sampai sekarang pasien kusta mengalami
kesulitan. Satu diantaranya, adalah mendapat akses pelayanan yang layak dan
minimnya informasi tata cara perawatan dan penanganan Kusta.
Tidak semua unit layanan
kesehatan, memahami informasi tentang kusta dibarengi dengan tingginya stigma
kusta di kalangan tenaga kesehatan (nakes) sendiri. Odpk tidak mendapat layanan
optimal, sehingga beresiko menularkan bakteri dan memperparah kondisi.
Dokter Ribi Mahmoed MPH,
technical advisor PLC NLR Indonesia, menyampaikan, seharusnya odpk bisa
survive. Tetapi dampak sosial yang berat, membuat kondisi odpk malu dengan diri
sendiri. Kemudian dari pihak keluarga kurang support, masyarakat mengucilkan pun
tenaga kesehatan minim informasi. Parahnya, kusta dikaitkan dengan penyakit
kutukan.
Kusta di Indonesia, secara global mengalami penurunan. Kita bisa perbandingkan data tahun 2019 dan 2020. Angka kasus nasional dari 19.900 mmenjadi 13.180, penemuan kasus baru dari 17.400 menjadi 11.173. Angka cacat dari 4,18 per 1 juta penduduk menjadi 2,13 per satu juta penduduk.
Provinsi Jawa Timur, memiliki
kasus kusta tertinggi yaitu 2.139, menyusul Jabar 1.845, Papua 1.200, Jawa
Tengah 1.100 dan Papua Barat 902 Kasus.
Ibu Shierly Natar, SKep dari Dinas Kesehatan Kota Makasar, tantangan di lapangan menangani kusta adalah pasien sudah menstigma diri sendiri (mereka malu). Tugas nakes adalah pendampingan kepada odpk dan keluarga, melakukan edukasi dan motivasi.
Bahwa penyakit kusta harus diobati,
kemungkinan terjadi akibat kontak dengan penderta lama dan baru terasa dampaknya
sekarang. Pendampingan dengan tekun dan sabar, membuat orang dengan kusta
bersedia diobati.
Pencegahan kusta oleh Dinkes Makasar, yaitu dengan penyuluhan, pemeriksaan fungsi syaraf, dianjurkan melakukan perawatan mandiri. Odpk atau keluarga bisa melakukan perendaman, bagian yang kebas digosok batu apung (agar penebalan berkurang), digosok minyak kelapa kemudian istirahat cukup. Rutintas penanganan dilakukan setiap hari, sehingga ketika sehat dari kusta tidak menjadi cacat.
Dokter Ribi menambahkan, perawatan
diri mencegah disabilitas terhadap kusta bisa menerapkan 3M. Yaitu Memeriksakan
diri, Merawat bila ada kelainan, Melindungi dengan menangani pasien.
Misalnya, odpk tidak merasakan panas ketika angkat panci panas. Maka perlu disetting otak, agar tidak mengangkat panci pnas untuk menghindari resiko terkula. Prinsip perawatan diri adalah bisa mandiri tidak tergantung petugas, bisa menggunakan bahan yang ada di rumah (batu apung, minyak kelapa, kain bersih dsb) tiak harus membeli dengan harga mahal.
Membincang Pencegahan Disabilitas Pada Kusta di Ruang Publik KBR
Indonesia terus berusaha
mengelimnasi kusta, sosialisasi terus digalakan. NLR berusaha menjadikan kusta
tidak menjadi stigma di masyarakat. Gejala dini kusta perlu dikenali, munculnya
bercak putih atau kemerahan tetapi idak gatal dan tidak sakit. Kemudian kelemahan
jari tangan dan kelopak mata tidak tertutup rapat. Kalau sudah demikian,
sebaiknya segara ke puskesmas.
Kebanyakan pasien denga gejala dini, tidak segera ke puskesmas karena tidak merasa sakit. Sehingga berlanjut dengan reaksi kusta demam ringan – sedang, sendi sendi sakit, syaraf belakang lutut sakit. Penularan dari orang belum diobati ke orang sehat dengan resiko rendah imunitasnya.
Dari sisi tenaga medis, jjuga
terus menedukasi bahwa kusta tidak bahaya. Mengingat pemahaman semua nakes
tidak sama, hal ini menjadi tantangan Dinkes. Bagaimana merubah mindset nakes.
bahwa kusta tidak menular langsung dan penanganannya lama.
Kita masyarakat, bisa mengambil bagian turut andil. Yaitu tidak meninggalkan odpk, menyikapi kehadiran mereka secara wajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA