penjual tepo tahu - koleksi pribadi |
Duapuluh
lima tahun lebih hidup di tanah seberang, ada alasan yang membuat hati saya
terpaut dengan kampung halaman.
Pasalnya
setelah singgah di beberapa kota perantauan, saya belum pernah menemukan
kuliner sejenis atau yang mirip.
Makanan
ini cukup unik, meskipun bahan-bahannya sederhana, sangat mudah dibeli di pasar
serta pengolahanya tidak sulit.
Tujuh
belas tahun tinggal di seputaran Ibukota, saya belum pernah menemui, atau jangan-
jangan hanya di desa saya makanan ini diolah.
Adalah
tepo tahu, nama makanan khas Magetan. Sejak duduk di taman kanak-kanak, saya kerap
membeli ke penjual langganan.
Sampai
pulang kampung sebulan lalu, saya sempat membeli dan penjualnya ada cucu dari
generasi perintisnya.
Penjual
tepo tahu adalah (dari dulu sampai sekarang) turun temurun, konon resep bumbu rahasia
diwariskan secara alami.
Saat
anak penjual tepo tahu beranjak remaja, mulai diajak terllibat saat si ibu berjualan
pada malam atau siang di hari pasaran (Pon dan Kliwon mereka jualan).
Mula-mula
sang anak membantu pekerjaan pendukung, seperti mencuci piring, mengantar
pesanan pelanggan, melayani pembeli yang pesan untuk dibungkus.
Proses
pembelajaranpun dimulai, anak mulai diajar meracik bahan, menakar bumbu dengan
porsi yang pas dan seterusnya.
Bukankah
cara efektif mentransfer ilmu, adalah melalui contoh dan praktek secara
langsung di lapangan.
Seiring
perjalanan melihat dan praktek, niscaya si anak semakin mahir tehnik menguleg dan
insting padu padan bumbu akan terbentuk.
Kala
sudah sampai ilmu bumbu (kunci makanan) diestafetkan, pertanda generasi
pendahulu siap rehat dan mengambil pensiun.
Kelanjutan
angkringan tepu tahu tidak terlalu dikhawatirkan, mengingat pola memasak dan keahlian
yang sama sudah di tangan penerusnya.
-00o00-
penampakan tepo tahu - koleksi pribadi |
Tepo
tahu, makanan murah meriah tetapi melekat di hati. Keberadaannya, tidak bisa
dilepaskan dari masa lalu saya.
Setiap
pulang kampung, selalu saya sempatkan menikmati makanan khas menjadi klangenan
ati.
Penjualnya
menggelar dagangan (dengan gerobak duduk), di emperan toko di samping pintu
masuk pasar.
Selepas
sholat maghrib dijalankan, penjual sudah siap menunggu pembeli, baik untuk dibungkus atau di
makan ditempat.
Tepo
atau lebih populer dengan sebutan lontong, di desa saya dimasak dengan kayu
bakar di atas pawon (tungku).
Tampilan
tepo (dari saya TK sampai sekarang) tidak berubah, dimasak berbalut daun pisang
kemudian dibentuk piramida tambun.
Pada
saat hari lebaran tiba, Ibu saya bela-belain masak tepo sendiri, untuk menyambut anak
cucu yang pulang kampung.
Mula-
mula beras dicuci dibungkus daun pisang, kemudian diirebus dengan kuali (semacam
panci dari tanah) dari malam.
Proses
memasak tepo cukup panjang, kestabililan api musti dijaga, agar tidak terlalu
besar atau kekecilan.
Sumber
panas dari kayu bakar si atur sedemikian rupa, kayu didorong ke dalam ketika
api mulai keluar lubang tungku.
Setelah
tepo matang, tidak langsung diangkat dari kuali, dan si kuali juga dibiarkan nongkrong
diatas mulut tungku.
konon,
bara yang masih tersimpan di kayu, akan membuat tepo yang sudah matang menjadi
semakin tanak.
Aroma
dan citarasa tepo terasa khas, karena zat hijau daun (klorofil) pisang menempel
di bagian pinggir tepo.
Apalagi
kalau makan saat tepo masih hangat, bau harum dari daun pisang yang sudah
matang berasa harum.
Cara
menyajikan sangat simpel, tepo masih utuh diiris setengah, kemudian diiris lagi
menjadi tiga atau empat dipotong kecil (sesuai selera).
Kemudian
ditaburkan bumbu serbuk khusus, diatasnya ditimpa gorengan tahu dan tempe diiris
dadu.
Selanjutnya
disiram air bawang dan bumbu, disiram lagi kecap kental manis, sebagai penutup
ditaburi bawang goreng, boleh ditambah telor ceplok (optional).
Harga
juga tidak mahal, sebulan lalu membeli seporsi tepo tahu lengkap dibandrol di
harga tujuh ribu (kalau yang langganan hanay enam ribu).
Penjual
tepo sekarang, adalah sepantaran dengan seusia saya, yaitu istri dari adik kelas saya
semasa sekolah dasar.
Sekarang
terhitung sudah generasi ketiga, dulu sewaktu saya masih SD, kalau membeli tepo tahu
dilayani neneknya.
Membeli
dan menikmati seporsi tepo tahu, kemudian duduk diangkringannya, bagi saya
adalah nostalgia.
Sambil
menunggu si penjual menyiapkan pesanan, kami berbagi cerita (karena saling
kenal) tentang pengalaman dijalani.
Nanti
pada saat balik ke kota, rasa kangen makanan khas desa bertumbuh, memanggil
pulang kembali di masa mendatang.
wah enak nih keliatannya
BalasHapusEnak dan ngangeni mbak :)
Hapus