Suasana kota Jeddah - dokumentasi pribadi |
Saya pernah menerima sebuah surat elektronik,
dari satu alamat yang sebelumnya tidak saya akrabi.
Kemudian si pengirim mengenalkan diri, mengatakan mengetahui saya dari artikel yang saya publish.
Kemudian si pengirim mengenalkan diri, mengatakan mengetahui saya dari artikel yang saya publish.
Email yang dikirim bercerita perihal kisah yang
telah dilalui, sembari menitip pesan agar saya menuliskan ulang di blog.
Membaca cerita teman ini, menyadarkan saya pada
satu hal. Bahwa setiap kita, sejatinya telah terbentang jalan musti dititi satu
persatu bagai anak tangga.
Kesabaran adalah senjata tidak ditawar, sabar yang berbatas cakrawala, sabar tak bersangka ujung pangkal.
Kalau ada yang bilang "sabar ada batasnya", sejatinya cermin seberapa sanggup si manusia bertahan sabar.
Batas kesabaran orang berbeda, tergantung sedalam apa
menyelami makna kata sabar. Hanafi (selanjutnya saya menyebut pengirim email), mengisahkan onak duri yang dilalui.
Lelaki tangguh itu, kini berada jauh di kota
Jeddah, setelah menebus sekian lama penantian. Tidak mudah memang menjalaninya, tapi keyakinan
beriring upaya dan doa menjadi pegangan.
*****
“Alhamdulillah, dua bulan lalu saya mulai
bekerja di restoran di Jeddah. Tapi sebelumnya, saya juga pernah jadi TKI”
tulis Hanafi di emailnya.
Tahun 2013, lelaki lulusan STM ini pernah
bekerja di perkebunan di Malaysia. Sebagai pekerja outsourching, bersama beberapa teman dikontrak selama tiga tahun.
Harapan kembali -- selepas masa kontrak—ke
tanah air begitu besar, sembari menyusun rencana masa depan.
Setiap akhir bulan, sebagain besar gajinya
langsung ditabung. Makan sekedarnya, keinginan jalan-jalan dan jajan lebih
banyak ditahan.
Semua dilakukan demi memuluskan rencana, ingin
menetap di negara dicintai, berdekatan dengan ayah ibu yang dikasihi.
Setelah kontrak berakhir, saatnya Hanafi mewujudkan
asa dipendam. Kembali pulang ke tanah kelahiran, tempat menambatkan harap besar.
Mempertimbangkan kemampuan diri dan menimbang
masukan dari orang terdekat, akhirnya satu keputusan ditetapkan Hanafi.
Namanya sedang punya duit banyak, anak muda
ini berpikir pendek demi kesenangan semata.
Sebagian tabungan diambil, sebagai uang muka pembelian mobil. Artinya masih punya kewajiban, membayar cicilan selama beberapa tahun ke depan.
Sebagian tabungan diambil, sebagai uang muka pembelian mobil. Artinya masih punya kewajiban, membayar cicilan selama beberapa tahun ke depan.
“Dari sinilah, persoalan baru muncul” ujarnya
di email.
Sembari sibuk mencari pekerjaan, terbetik ide menyulap
roda empat menjadi lebih produktif. Akhirnya keputusan diambil, menitipkan
mobil baru ke penyewaan. Dengan harapan, hasil pembayaran sewa bisa mem-back up cicilan.
Proses kerjasama dimulai, kondisi saling
menguntungkan dialami Hanafi. Enam bulan berselang, senyum tersungging hak dan kewajiban
berjalan sebagaimana mestinya.
Memasuki bulan ketujuh, Hanafi mulai merasakan
kejanggalan. Pernah pada satu waktu, ingin memakai mobil untuk keperluan
keluarga. Pemilik penyewaan berkelit, bahwa mobil sedang dipakai pelanggan.
Puncaknya terjadi, ketika lebaran sudah dalam
hitungan hari. Si partner tetap merangkai alasan, seolah meyakinkan bahwa mobil
dalam keadaan aman.
Bak petir di siang bolong, lelaki lajang ini terhempas
pertahanan. Harta paling berharga dimiliki, tak diketahui sangkan paran.
“Mobilnya hilang mas” ujar pemilik penyewaan.
Pihak rental lepas tangan, semua beban
ditanggung Hanafi. Sebelum surat laporan kehilangan polisi dipegang, pembayaran
angsuran tetaplah berjalan.
Tabungan menipis, setipis harap kendaraan
kembali di tangan. Debt collector seperti musuh bebuyutan, "menerkam
mangsa” yang dianggap mangkir. Akhirnya laporan kepolisian keluar, satu masalah
seperti tutup buku dari kehidupan.
Pencarian pekerjaan di tanah air, ibarat
mencari jarum ditumpukkan jerami. Dada Hanafi sesak, bola mata sembab, ketika
merasakan babak sedang dilakoni.
Langkah tegap itu terayun, menuju kantor penyaluran
TKI. Sebuah harapan terbit kembali, ketika peluang bekerja di Canada terbuka.
Semangat baru terbit, hari dijalani seperti kembali
bersemi. Rasa pedih kehilangan mobil, lama-lama luntur dengan sendirinya.
Batu ujian kembali menghadang, setelah
sejumlah uang disetor, kantor penyalur TKI mangkir. Janji manis berangkat ke
Canada pupus, Hanafi tehempas untuk kesekian kali.
“Saya benar-benar terpuruk” tulisnya.
Tinggal dan menganggur di rumah orang tua, rasa
perih itu berlipat dan menghunjam ulu hati. Setiap kalimat dituliskan pada
saya, seolah tak sanggup mewakili rasa nelangsa.
Di ujung sisa asa yang dipunya, Hanafi tak patah
arang mencoba peruntungan. Kembali datang ke kantor penyalur TKI, yang pernah
mengirimnya ke negeri Jiran. Kali ada ada lowongan di kota Jeddah, nama yang
selama ini di luar bayangan harapan.
Sehari dua hari genap seminggu, dua tiga
minggu membulat satu bulan. Harapan muncul berganti tenggelam, bagaikan
fatamorgana antara ada dan tiada.
Kantor penyalur yang menaungi, mengulur waktu
setiap ditanya perihal keberangkatan. Di sisi lain menyandang status
pengangguran, menjadi siksaan batin tersendiri.
Hanafi dengan kisahnya, layaknya setiap kita yang
sedang meniti alur nasib dan takdir digariskan. Penantian kali ini, rupanya tak
kalah menguras energi kesabaran.
Genap setengah tahun menanti, kabar
menyenangkan didapati. Lelaki dengan ujian kesabaran, dinyatakan berangkat menuju
Jeddah.
sebuah restiran di kota Jeddah - dokpri |
Awal bulan
Agustus lalu, Hanafi telah me-merdeka-kan perasaan tertekan. Terbang membelah
awan, menempuh sekian waktu perjalanan.
Sebuah Restaurant di kota Jeddah tengah
menanti lelaki perkasa, sebagai tempat menjulangkan asa membahagiakan orang tua.
“Selamat berkarya Hanafi, semoga sehat dan
sukses selalu” balasan email saya kirim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA