gambar diambil dari beberapa sumber |
“Rasa
Lezat, Hidup Sehat, Dunia Ceria, Susu Saya Susu Bendera - Susu Saya Susu
Bendera”
Bagi
generasi 80-an, --saya yakin— sudah tidak asing dengan jingle iklan tersebut.
Bisa jadi, saat membaca kalimat di awal sambil bersenandung.
Semasa
saya kecil, ibu menyediakan SKM saat sarapan. Kala itu sedang digaungkan slogan
“4 sehat 5 sempurna”, dan susu (dalam hal ini SKM) adalah yang ke 5 atau
sebagai penyempurna.
Jujur,
Saya sendiri mengamini tindakan ibu. Karena memang di media pariwara (tv,
koran, radio), minuman berwarna putih atau cokelat tersebut diclaim sebagai
susu.
Padahal
ada yang salah, dengan informasi pada pariwara tersebut. Bahkan sejak tahun
1930, sudah ada pihak yang mempermasalahkan.
Tentang
upaya penggiringan persepsi konsumen (oleh produsen), bahwa kental manis
dianggap Susu itu salah.
Susu
Kental Manis (SKM) apapun mereknya, disinyalir memiliki prosentase gula 60%, lebih
banyak dibanding kandungan susu.
Dr. Eni Gustina MPH, Direktur Kesehatan Keluarga,
Direktorat Kesehatan Masyarakat Kementrian
Kesehatan RI, dalam acara Blogger Bicara, menyampaikan, bahwa ada yang keliru
dengan persepsi di tengah masyarakat, -- bisa jadi terdampak pariwara-- setelah
selesai pemberian ASI ekslusif sampai bayi umur 6 bulan, balita langsung diberi
lanjutan dengan kental manis ( yang diyakini susu).
Banyak
faktor, melatarbelakangi sikap para Ibu memilih kental manis sebagai penerus
ASI untuik balita mereka, biasanya karena harga lebih terjangkau.
Sementara
menurut Permenkes --yang mengatur kecukupan gizi--, seharusnya takaran konsumsi
gula 5 sendok/ hari (55 gram), garam 1 sendok teh/ hari, minyak atau lemak 6
sendok makan/ hari.
Bangsa
Indonesia saat ini, sebanyak 15% anak terdampak obesitas, berpotensi mempunyai
gizi buruk dan stunting. Saat ini, Indonesia termasuk 17 negara, dengan masalah
gizi buruk.
“Edukasi masyarakat sangat penting, melalui
pola makan seimbang,” imbuh Dr Eni.
Miris
ya kawan, padahal tahun 2035 – diprediksi-- bangsa Indonesia akan mendapat
bonus demografi.
Sungguh
saya tidak mau membayangkan – berharap tidak bakal terjadi--, balita saat ini
yang salah dalam pemilihan asupan. Maka
pada bonus demografi, tentu anak muda di Indonesia akan bermasalah --- semoga
tidak terjadi, Amin.
Ki- Ka ; Pratiwi Febri, Eni Saeni, Eni Gustina, Kang Maman (moderator)- dokpri |
***
Beberapa
tahun terakhir -- mulai tahun 2017-- iklan SKM (terutama di televisi) sudah
ganti konsep.
Atau
kalau ke minimarket atau supermarket coba perhatikan, label pada produk SKM
sudah berubah nama menjadi “Kental Manis” (tanpa kata susu)
Sementara
menurut Pratiwi Febri, Peniliti LBH Jakarta, di lapangan masih
terdaoat temuan, label dalam kemasan Kental Manis – beberapa merk-- masih berpotensi
menggiring persepsi konsumen.
Pasalnya
masih dipasang gambar, orang sedang memegang gelas, dengan isi air berwarna
putih (berpotensi menggiring persepsi bahwa itu susu)
Indonesia
termasuk negara, yang sudah meratifikasi beberapa deklarasi HAM – diantaranya--
UU Ham, UU 36/ 2009 tentang kesehatan.
Bahwa
hak kesehatan bukan hanya sehat dalam arti fisik saja, tetapi juga kondisi
sejahtera badan, jiwa sosial, sehingga memungkinkan orang bisa produktif secara
ekonomi. Kesehatan adalah hak fundamental dalam HAM, harus diberikan standart
tertinggi kepada masyarakat.
Bahwa
kemudian SKM – akhirnya diganti Kental Manis-- diketahui, ternyata kandungan
gulanya lebih banyak dibanding susu, hal ini perlu dibenahi dalam pariwara.
Bahwa
fungsi kental manis, adalah sebagai bahan tambahan (toping) untuk berbagai
jenis makanan. So jangan sampai, kental manis dipersepsikan konsumen sebagai susu.
Apalagi
kemudian dikonsumsi untuk anak tiga kali sehari, sangat riskan karena
berpotensi terjadi obesitas.
Edukasi
dan atau ajakan menjadi konsumen cerdas sangat penting, agar konsumen paham apa
yang dibeli dan hendak dikonsumsi.
Foto session - dok WAG |
Acara
Blogger Bicara, dengan tema “Mengawal Kebijakan BPOM Demi Mewujudkan Konsumen
Cerdas” semakin lengkap, dengan hadirnya narasumber ketiga, Eni Saeni, Pengamat Komunikasi dan Konsultan Media.
Menurut
Eni, selama sudah banyak kajian menyatakan, bahwa SKM bukan susu tapi hanya
penambah makanan dan minuman.
Edukasi
SKM menjadi Kental manis sedang dijalankan – diantaranya melalui perubahan
label--, tapi materi pariwara belum semua dihilangkan.
Terbukti
produsen kental manis masih “nakal”, dengan ditemukan pada 4 bulan terakhir, di
medsos produsen kental manis masih menampilkan pariwara SKM.
Mengacu
regulasi BPOM 21/2016-- SKM bukan susu--, ditindaklanjuti surat edaran tentang
label produk iklan, dalam produk susu kental dan analognya.
Sehingga
peran aktif masyarakat dibutuhkan, kalau terjadi pelanggaran di lapangan, bisa
melakukan pelaporan melalui instansi terkait atau Yasayan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI).
Atau
kalau tidak mau dibuat kerepotan, asal punya bukti yang kuat, bisa melakukan
protes melalui media sosial.
Sudah
banyak kasus – menyangkut orang banyak—terselesaikan, setekah diunggah di media
sosial.
SKM memang bukan susu. Semoga masyarakat semakin sadar akan hal ini sehingga bisa mengonsumsinya dengan bijak. Salam sehat :)
BalasHapusbetul
Hapussudah tertanam di mindset ya
BalasHapus