dokumentasi pribadi |
Kegiatan menulis, pasti menjadi “makanan” sehari-
hari seorang blogger, jurnalis, penulis dan atau pekerjaan yang berhubungan
dengan literasi.
Jari-jari ini rasanya gatal, kalau sehari saja tak bertemu dan bersentuhan dengan tooth laptop atau notebook.
Bagi seorang penulis, pekerjaan menulis smestinya
menjadi sebuah keasyikan, sekaligus kebutuhan layaknya kegiatan makan dan minum.
Merangkai kata menjadi kalimat, menyusunnya
menjadi sebuah cerita, tentu sebuah pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan.
Kalau dinikmati dengan baik, niscaya hasilnya menghadirkan kepuasan tak terukur dengan apapun juga.
Saya kagum, dengan penulis produktif dalam berkarya,
sekaligus – anggap saja bonusnya – mendapat perhatian banyak pembaca.
Tentu butuh stamina tidak sedikit bagi penulis rajin semacam itu, effort dikerahkan juga tidak bisa sembarangan.
So, bagi yang tulisannya sedikit pembaca, tak
perlu rendah hati (menasehati diri sendiri). Bukan alasan berhenti, anggap saja
bagian dari proses di ranah kepenulisan.
Keadaan yang ada saat ini, justru menjadi kesempatan belajar lebih giat, memacu diri meningkatkan kemampuan lebih baik
Mengembangkan diri, dengan belajar tentang tehnik
menulis, memperkaya diksi dengan banyak membaca buku.
Mungkin tidak semua hal bisa dikuasai (kalaupun bisa itu sangat bagus), tetapi bisa mengemas ide dengan cara sendiri itu saja sudah keren.
Setiap orang memiliki keunikan, karena setiap
orang, memiliki perjalanan berbeda. Untuk satu cerita yang sama, setiap orang memiliki
cara berbeda saat menuliskannya.
Musuh
Seorang Penulis.
Aneka blog competition, akhir akhir ini marak
diselenggarakan berbagai pihak (kantor pemerintah, BUMN, kantor swasta, UMKM dan
lain sebagainya).
Menawarkan beragam hadiah, mulai dari barang eletronik, gadget, voucher belanja atau menginap, plesiran bahkan uang tunai.
Atas iming-iming hadiah wah, menarik minat
peserta mengerahkan segenap daya dan kreatifitas terbaik dimiliki.
Semua –mungkin-- memiliki satu tujuan yang sama,
mencatatkan nama sebagai pemenang di pengumuman akhir kompetisi.
Dari sudut pandang pertandingan, --meski sesama
peserta saling mengenal—pasti terbersit rasa bersaingan dan mengerahkan
strategi.
Artinya antara satu peserta lomba dengan
peserta lomba lainnya, menjadi ‘musuh’ yang harus (kasarnya) dikalahkan.
Lazimnya sebuah pertandingan dan atau
perlombaan, persaingan dan adu strategi menjadi sebuah kewajaran.
Meskipun akhirnya, keputusan mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, ada di tangan juri lomba menulis tersebut.
Andai saja tidak menang, bagaimana dengan
semangat menulis tersebut.
Apakah tetap akan menulis, meskipun bukan job review atau tanpa upah di belakangnya.
Apakah tetap akan menulis, meskipun bukan job review atau tanpa upah di belakangnya.
Menulis tanpa embel-embel apa-apa (baca ; marteri), mungkin tidak
semua orang mau melakukan dengan senang hati.
Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri, sebuah
proses menulis butuh energi, pikiran, waktu dan butuh kuota untuk mempublish –pengalaman
pribadi nih, hehehe.
Perlu pertimbangan – berkali-kali--, hanya untuk
sekedar menulis tanpa ada imbalan (kalau pilihan maunya pasti yang berbayar).
Lalu siapakah musuh berat seorang penulis? Jawabnya satu –kalau mau dipanjangin bisa panjang-- adalah “Diri Sendiri”.
Keenganan untuk memulai (karena tidak ada
imbalan), rasa malas (untuk meluangkan waktu, tenaga dan pikiran), serta
sederet alasan keberatan lainnya.
Saya sendiri, termasuk yang masih kalah dengan
ego. Keengganan, kemalasan dan keberatan lain kerap menyertai diri saya
pribadi.
Sampai detik ini, saya tak henti meluruskan
niat dan membenahi mental, agar bisa ajek menulis, belajar menghilangkan
penghalang kegiatan menulis.
Diri Sendirilah, muara dari semua masalah
sekaligus solusi dalam menulis. Silakan, mau memilih yang mana !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA