Sarasehan Peranserta Masyarakat Film yang diadakan di Gedung PPHUI Jakarta Selatan -dokpri |
Dewasa ini, dunia perfilman tanah air sedang marak. Nyaris dalam hitungan hari, selalu bermunculan judul baru dilaunching.
Kenyataan ini menggembirakan, sebagai indikasi,
meningkatnya produktifitas sineas tanah air, sekaligus respon positif dari
masyarakat.
Beberapa judul film Indonesia, mencetak box office. Menembus angka jutaan
penonton, berkat kerja keras dan kerja kolektif para pelaku film.
Secara kualitas juga dapat dibuktikan, dengan
diraihnya berbagai penghargaan baik di dalam atau di luar negeri.
Keadaan ini tidak boleh diabaikan, musti dimbangi
dengan peran serta masyarakat dan penggiat perfilman.
Satu diantaranya, dengan menggelar forum-forum diskusi
dan kegiatan pendukung dunia perfilman tanah air.
Pada minggu kedua Januari, Masyarakat Perfilman
mengadakan Sarasehan. Acara digelar di Gedung PPHUI (Pusat Perfilman Haji Usmar
Ismail), berlangsung dengan format santai namun serius.
Tampak hadir dalam acara Sarasehan, perwakilan dari
Komisi 10 DPR RI, Produser, Pemerhati film, Wartawan dan Blogger tentunya.
Menyoal peran wartawan, ternyata tidak bisa lepas
dari sejarah Perfilman Indonesia. Satu diantara nama wartawan yang berjasa,
adalah Haji Usmar Ismail yang kini melegenda. Namanya diabadikan, sebagai nama
gedung Pusat Perfilman.
Dari Sarasehan ini, saya menimba banyak pengetahuan
tentang film. Sebagai orang awam, terbuka kenyataan, banyak hal musti dibenahi
di Industri perfilman tanah air.
Perihal Undang-Undang Perfilman, yang sejak
sembilan tahun ditetapkan, ternyata belum sepenuhnya dijalankan.
Mengapa UU Perfilman Tertinggal ?
Inilah tema Sarasehan “Peran Serta Masyarakat
Perfilman.” Keberadaan UU perfilman no 8/1992 pernah digugat MK, sehingga perlu
dibuat UU yang lebih demokratis.
Melalui berbagai proses, sampai akhirnya lahir UU
33/ 2009, yang mengamanatkan banyak hal.
Namun, kenyataan berbicara lain. Sejak lahirnya UU
33/2009, hanya diikuti terbitnya satu PP saja, yaitu PP tentang Lembaga Sensor
Film (LSF). LSF sendiri, terpisah dari Masyarakat Perfilman.
“Akibat dari
ketiadaan peraturan turunan UU Perfilman, ketidakadilan berlangsung, terutama
dalam penyelenggaraan usaha perfilman” Kata Wina Armada, Wartawan senior dan kritikus film yang hadir pada
acara Sarasehan.
“Film
Indonesia diberlakukan tidak adil, produser takut bersuara meskipun usaha film
merugi miliaran rupiah, karena kawatir digencet dan tidak diberi lesempatan
untuk bisa tetap memproduksi dan mengedarkan filmnya” tambah Wina
Sarasehan berlangsung santai namun serius -dokpri |
Sementara Rully
Sofyan dari Asirevi menambahkan,
“UU perfilman benar-benar terjegal oleh
kekuatan politik bisnis yang besar”
Alibat tidak hadirnya PP turunan, berpeluang menimbulkan
“anarkis” dalam penyelenggaraan perfilman. Paling sering didapati, adalah jatah
layar bagi film Indonesia.
Film nasional, seharusnya mendapat porsi 60%
terlepas dari mutu. Hal ini, bukan berarti mengebiri film barat.
Bagaimanapun, kita sangat perlu belajar dari film
barat. Hanya porsi film barat perlu dibatasi, guna mencegah terjadinya dominasi
film asing.
“Kami seperti mengemis di negeri sendiri.
Lalu di mana pelaksanaan Undang-undang itu? Di mana payung hukum itu ? Di mana
komitmen pemerintah yang katanya ingin memajukan film Indonesia dan menjadikan
film Indonesia tuan rumah di negara sendiri? ” keluh Evry Joe, seorang Produser Film,
Sungguh, sebagai penikmat film, kondisi ini baru
saya dapati. Keadaan yang tidak menguntungkan, berpotensi mengancam
keberlangsungan film itu sendiri.
Dadang Rusidana,
Anggota Komisi 10 DPR RI,
berkesempatan hadir dalam acara Sarasehan. menyampaikan, “ Bicara perfilman bicara komitmen Presiden, ekonomi kreatif sebagai
pilar ekonomi Indonesia. Negara
Indonesia akan maju, salah satunya melalui sektor ekonomi kreatif, film adalah
sub sektor dari ekonomi kreatif.”
Komisi 10 DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja)
Film, untuk mendalami apa yang menjadi persoalan Perfilman Indonesia.
Sempat terjadi beda pendapat antar anggota, dalam menyikapi
UU tahun 2009. Mengingat dari sisi kelembagaan, perfilman berada di dua
institusi yang menaungi yaitu Kemdikbud dan Bekraf.
Kemdikbud memandang, film sebagai misi kebudayaan, bertujuan
menguatkan budaya di tengah pergaulan global. Sementara Bekraf, bicara film
dari aspek bisnis.
Sementara Lembaga yang dibentuk UU, tidak bisa
berjalan optimal karena tidak diberi porsi yang jelas oleh negara. Dalam aspek
pendanaan, juga mengalami kesulitan, apalagi perlindungan terhadap insan
perfilman
Perlu usaha bersama, agar UU 33/2009 segera
diejawantahkan. Terpecahnya masyarakat perfilman terjadi, karena sikap pemerintah
yang abai terhadap PP.
Pemerintah musti didorong, serius melindungi
kebudayaan, melalui Undang-undang yang diamanahkan DPR. Selama tidak ada Peraturan
Pelaksana, sebuah produk UU tidak akan bisa berjalan dengan baik.
Butuh peran serta semua pemangku kepentingan,
termasuk masyarakat luas, untuk mendorong Pemerintah lebih memperhatikan kondisi
perfilman.
Contoh paling simple, adalah menggunakan media
sosial, demi menyuarakan ketimpangan yang terjadi pada Masyarakat perfilman.
Sarasehan siang hari ini, adalah sebagai upaya
bersuara. Kalau saja hal serupa dilakukan secara kontinue, bukan mustahil perubahan
nyata akan terjadi.
“sarasehan
ini digagas oleh Masyarakat Perfilman dengan mengajak wartawan film, untuk
mengkritisi kondisi Perfilman yang sebenarnya. Rencananya sarasehan serupa,
akan berlangsung secara berkala dengan topik berbeda” Ujar Akhlis Suryapati, selaku moderator.
Saya sepakat, musti diperbanyak kegiatan serupa dengan
Sarasehan, diadakan dari beragam kalangan. Agar kondisi dunia perfilman tanah
air, memihak kepada Film produksi anak negeri. –salam-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA