Mata ibarat jendela dunia, lewat dua bolanya, kita
bisa saksikan indahnya semesta. Melalui mata pula, bisa kita reguk samudra pengetahuan.
Apa yang terjadi, kalau benderang cahaya tidak
tertangkap mata, kalau semua warna-warni berubah legam. Semua indah sirna,
berubah menjadi serba keterbatasan. Indera penglihatan tak ternilai harga, sangat
perlu dijaga dan dipelihara
PT. Bank
Central Asia Tbk (BCA), sebagai salah satu bank ternama di Indonesia. Focus
pada bisnis perbankan transaksi, menyediakan fasilitas kredit dan solusi
keuangan, bagi segmen korporasi, komersial & UKM dan Konsumer.
Sebagai Bank terkemuka, BCA berkomitmen, turut andil
dalam mewujudkan ‘Indonesia Bebas Katarak’. Target dicanangkan pemerintah, sebagai
pencapaian pada tahun 2020.
Memang bukan tantangan yang ringan, sangat butuh usaha dan kerja ekstra keras, serta
dukungan dari seluruh stakeholders dan masyarakat pada umumnya.
Senin, 13 November 2017, bertempat di lantai 22
Menara BCA, Jakarta Pusat. Dilangsungkan penyerahan secara simbolis, donasi 1 buah
Phacoemulsification Cataract Machine Intuitiv AMO dan 3 set alat pendukung
operasi katarak, senilai Rp. 659, 5 Juta.
Penyerahan dilakukan oleh President Directur BCA, Bapak Jahja Setiaatmadja, kepada Ketua Seksi Penanggulangan Buta Katarak Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (SPBK- Perdami) Dr. Elvioza SpM (K).
Hadir pada kesempatan yang sama, Executive Vice Presiden
CSR BCA, Ibu Inge Setiawan dan Senior Vice Presiden CSR BCA, Bapak Sapto
Rachmadi. Tidak ketinggalan, Sekretaris I Perdami DKI Jakarta, Dr. Rita Polana
SpM dan Ketua SPBK- Perdami Pusat, Dr. Umar Mardianto.
Dalam Sambutannya, President Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menyampaikan,“ Tahun sebelumnya, BCA menyumbangkan dua buah
mikroskop, 13 alat bantu operasi dan dua
alat biometeri. Setiap tahun, nilai bantuan BCA bertambah, dengan mensupport
Perdami, dana dari BCA bisa membantu masyarakat membutuhkan.”
President Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja -dokpri |
-0-
Dari situs resmi Kementrian Kesehatan, kita bisa
menyimak, hasil survey kebutaan di Indonesia – menggunakan metode Rapid
Assesment of Avoidabel Blindness (RAAB) di 3 Provinsi (NTB, Jabar, Sulsel)
tahun 2013 – 2014 -, bahwa prevelensi kebutaan pada masyarakat usia > 50
tahun, penyebab utamanya adalah Katarak 71%.
Sebagai negara tropis, kita sangat akrab dengan debu.
Polusi udara dan terik matahari. Hal ini terjadi, terutama pada saat musim
panas tiba.
Katarak tidak terjadi tiba-tiba, ada masa rentang terkait
dengan kebiasaan setiap orang. Kalau mata,
kerap tidak memakai pelindung, sangat mungkin terkena paparan sinar matahari atau
asap polusi secara langsung.
Apabia terjadi dalam jangka panjang, probabilita
terkena penyakit Katarak semakin bertambah. Sangat penting, menjaga mata saat
sedang sehat.
Saya teringat, ketika menjadi panitia operasi Katarak
di sebuah perusahaan. Para pasien, kebanyakan bapak dan ibu yang sudah sepuh. Saya
punya tugas mendata, bisa melihat bola mata pasien, ada selaput tipis berwarna
putih.
Bayangkan saja, ketika mata kita terhalang asap warna
putih. Object yang semestinya tertangkap, akan terhalang, bahkan bisa tidak
tampak sama sekali.
Pasien, tidak bisa langsung berobat. Kebanyakan, berasal
dari kalangan ekonomi bawah. Mereka kesulitan secara keuangan, sehingga tidak ada
biaya untuk operasi. Beruntung, ada kegiatan operasi katarak gratis. Sehingga keluhan
pada mata, bisa segera ditangani.
Diprediksi, sebagian besar kasus buta baru disebabkan
katarak. Setiap tahun bertambah, rata rata sebesar 0.1%, dari jumlah total penduduk
Indonesia.
Sementara, kemampuan operasi katarak setiap tahun,
diperkirakan pada angka 180.000/ tahun. Dengan perhitungan sederhana, kita bisa
ketahui, jumlah pertumbuhan orang yang terkena katarak tidak sebanding dengan penanganan.
Kalau angka penanganan tidak bertambah, akan terjadi
penumpukkan jumlah orang dengan sakit Katarak. Berarti, musti semakin banyak
pihak peduli, mengulurkan bantuan, bagi saudara yang membutuhkan.
Upaya BCA, dalam membantu pemulihan Katarak, patut
diapresiasi. Sudah semestinya, diikuti institusi dan atau pihak swasta lainnya.
Kalau banyak pihak turun tangan, bukan mustahil, lebih
banyak masyarakat terbantu lepas dari penyakit Katarak. Sehingga target Indonesia
bebas Katarak, semoga bisa dciapai bersama pada tahun 2020.
Dr Elviosa -dokpri |
Dr Elviosa, dalam kesempatan selanjutnya,
menyampaikan, “Secara keahlian, Perdami sudah
sangat siap. Masalahnya bukan keahlian saja dibutuhkan,tetapi ketersediaan alat
yang nilainya mahal.”
Dr. Elviosa memberi perumpamaan, Perdami ibarat tentara yang sudah siap bertempur. Tetapi ketika sudah berada di medan laga, harus bergantian menggunakan senjata, untuk menyerang musuh (dalam hal ini penyakit katarak).
Ya. Keterbatasan alat, membuat penanganan tidak bisa optimal. Sehingga, jumlah pasien katarak belum tertangani, jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu.
Katarak, tidak seharusnya menyebabkan kebutaan. Asal ditangani
secara cepat, jalan satu satunya melalui operasi. Sampaii detik ini, belum ada
obat mengatasi katarak, selain dengan jalan operasi.
Dari sisi cost,
merawat orang buta, jauh lebih besar biayanya dibanding mengatasi kebutaan. Orang
dengan kebutaan, akan terancam berkurang dalam hal produktifitas.
Kondisi ini, pasti mempengaruhi orang di sekitarnya - saudara, pasangan hidup, anak dsb-, terkena dampak tidak produktif.
Mereka –mau tidak mau- musti merawat, sehingga waktu
yang seharusnya untuk bekerja, digunakan untuk menemani orang yang sakit.
Coba, kalau setiap kita aware, dengan penderita Katarak. Misalnya dengan berbagi informasi, tentang layanan operasi Katarak berbiaya ringan. Syukur-syukur, ketika ada perusahaan menyelenggarkan operasi Katarak gratis.
Semakin bisa menekan angka kebutaan, otomatis bisa meningkatkan
produktifitas. Kalau sudah produktif, berdampak pada meningkatnya kesejahteraan.
–salam sehat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA