Illustrasi (dokpri) |
Dalam tubuh saya mengalir deras darah jawa, almarhum
Ayahanda berasal dari Ngawi sementara ibu dari lahir sampai saat ini menetap di
daerah Magetan.
Semasa kecil para tetua memelihara keyakinan, tentang
benda memiliki daya magis. Kakek dari
garis ibu, dikenal orang pintar kala itu. Hampir setiap hari tamu datang,
mengadukan segala permasalahan. biasanya saat pulang, dibekali air yang diberi
doa atau bungkusan yang tidak saya tahu isinya. Prosesi menyediakan sesajen
bersanding asap dupa, tentu tak lagi asing bagi saya.
Masa kecil hingga menjelang dewasa, saya lalui di kampung
halaman. Baru selepas sekolah atas, tradisi merantau saya jalani.
0o0
"Dung-dung-dung-dung-dung-dung-dung-dung-
CRAZZ-CRAZZ- CRAZZ- thung-thung" "Dung-CRAZZ-dung- CRAZZ -dung- CRAZZ
-dung- CRAZZ - thung-thung-thung"
Suara tambur bertalu-talu dengan ritme cepat dan
rekat, berpadu bunyi berisik simbal bulat dan pukulan gong kecil di selanya. Tambur
menjadi alat paling dominan, mungkin dipukul dalam hitungan setengah atau
seperempat saking kerapnya. Simbal tak mau kalah menonjolkan diri, mengimbangi performa tambur. Sementara gong kecil, sebagai
alat pelengkap terlihat kurang dominan.
Segerombolan anak muda bermata sipit, memakai kaos seragam
warna merah dengan huruf kanji di bagian belakang. celana putih gombrong
berbahan ringan, layaknya celana pangsi khas Betawi. Menilik wajah dan
perawakan yang segar, saya taksir berusia rentang duapuluh sampai tigapuluhan
tahun.
Bertempat di daerah Pandegiling Surabaya, saya
mendapati keramaian semacam ini. Kebetulan saat itu saya rutin seminggu dua
kali, mengikuti kelas Bahasa English di daerah tersebut. Tak jauh dari tempat
kursus, klenteng berdiri megah dengan ornamen khas. Prosesi beribadah umat Kong
Hu Chu, sering terlihat dengan membakar lidi panjang mengeluarkan asap. Mengingatkan
saya pada almarhum Kakek, ketika masa kecil sedang saya tapaki.
Namun hari itu ada yang lain, kali pertama dalam
hidup saya menyaksikan pertunjukkan unik. Naga terbuat dari bahan warna warni
merah-putih-kuning, dengan rumbai warna senada. Benak ini langsung
berkesimpulan, ini adalah budaya Tiong Hwa.
Yup, Rezim pemerintahan berganti.
Orde baru telah tumbang, setelah demo mahasiswa hampir
dari seluruh penjuru negri. Pada awal tahun 2000, KH. Abdurahman Wahid (Gus
Dur) Presiden ke empat membuka angin segar. Warga Thiong Hwa diberi angin kebebasan,
merayakan tradisi dan budayanya.
"Opo seh iku rek ?" celetuk teman asli
Surobyo dengan logatnya yang khas
"Reogke wong Chino" balas teman sekenanya.
Kalimat Barongsai masih asing, terutama bagi saya
penduduk pribumi yang kenal wayang dan reog. Maka saya tak berniat meluruskan,
istilah "Reogke wong Chino" sedang saya sendiri belum tahu namanya.
Masih jelas di ingatan, atraksi memukau anak-anak
muda. Yang sungguh menyedot perhatian, adalah atraksi Barongsai atau
pertunjukkan liong. Naga sebagai binantang yang dikeramat bagi orang Tiong Hwa,
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampil menarik. Dua pemain terlihat lincah
dan lihai, bekerjasama dalam memainkan perannya. Meliuk-liuk berputar, sangat piawai
menguasai panggungnya. Meski di jalanan yang tak begitu luas, nyatanya pemain
barongsai mampu meloncat kesana kemari dengan bebasnya.
Sesekali pemain yang berada di bagian kepala naga,
naik disunggi (duduk di pundak)
pemain bagian belakang. gaya memainkan kepala naga dengan lidah menjulur,
sangat mempesona saya dan penonton saat itu. Beberapa saat kepala naga diatas,
posisi kembali mendarat bagai berjalan melata.
WHAAAAA!!! Semua penonton dibuat kaget.
Saat kepala naga mendadak mendekati penonton, dengan
gerakkan menggeleng-geleng. Spontan saja ekspresi kaget berubah, disusul tawa bersama menjadi pemandangan wajar. Begitu
berulang-ulang dilakukan sang pemain, menerbitkan kemeriahan tak berkesudahan.
Tetabuhan tambur terus bertalu, berpadu dengan simbal dan gong. Gerakan tarian liong semakin atraktif, disambut
sorak sorai penonton yang terhibur. Keceriaan hinggap disetiap wajah,
membiaskan suka-cita yang mendalam. Saya hanyut dalam kemeriahan tarian Liong, penanda
hari raya Imlek telah tiba.
Memang kala itu Barongsai masih asing, apalagi bagi
saya yang asli jawa. Namun keramaian yang ada, tetaplah memantik rasa
penasaran. Kala itu lampion, angpao, busana Cici dan Koko belum begitu semarak
di pusat perbelanjaat atau dijual area umum. Namun pintu keterkungkungan
rupanya telah terbuka, ruang bagi
saudara Thiong Hwa berekspresi telah tersedia.
Sejak saat itu tahun ke tahun berjalan, tradisi Imlek menjadi tradisi. Hari raya China tampil semakin menawan, menghadirkan hiburan bagi masyarakat luas.
Sejak saat itu tahun ke tahun berjalan, tradisi Imlek menjadi tradisi. Hari raya China tampil semakin menawan, menghadirkan hiburan bagi masyarakat luas.
Februari 2016
Setiap memasuki bulan kedua, hari raya Imlek seolah menjadi
kesatuan. Perayaanpun semakin meriah, siapa saja bisa berpartisipasi memakai
baju warna merah atau khas China. Pusat perbelanjaan berlomba, bersolek dengan
dominasi warna Imlek. Lomba fashion show
khusus Cici Koko diselenggarakan, kue keranjang dan angpoa dihidangkan.
Imlek di Pusat Perbelanjaan (dokpri) |
Rekan Blogger Memetik Angpao (dokpri) |
Imlek tahun ini saya tak mau ketinggalan, menghadiri
undangan bersama teman blogger. Menikmati manisnya kue keranjang, menyaksikan
penampilan barongsai dengan atraksi liong-nya yang tak pernah kunjung membosankan.
O'ya, spesial tahun ini saya dipersilakan pengundang
memetik angpao. Ketika dibuka, mendapat souvenir berupa gantungan kunci
berbentuk lampion. Indahnya Imlek, menjadi bagian dari kekayaan dan tradisi bangsaku
yang beragam. (salam)
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Telisik Imlek Blog Competition JakartaCorners yang di Sponsori oleh Batiqa Hotels "
Tradisi unik ya, atraksinya menggugah :)
BalasHapussepakat, atraktif dan menakjubkan
Hapustrimakasih mbak Ani
Sukses dengan kompetisinya, mas
BalasHapusterimakasih mbak Ratna
Hapussalam :)
Akulturasi budaya yang menyenangkan sekali :D
BalasHapuswaktu pertama melihat Barongsai
Hapusbener2 exited saya :)