Buku "matahari Odi Bersinar Karena Maghfi" (dokpri) |
Tak ada orang tua tak menginginkan, memiliki
putra putri yang soleh dan solehah. Tumbuh dan berkembang sehat dalam keutuhan,
baik fisik maupun mental. Anak anak yang
menempuh jalan tak berkelok, bisa menjadi kebanggaan hati orang tua. Pun kelak ketika
ayah dan ibu berusia lanjut, buah hati penuh perhatian dan sepenuh sayang. Melapangkan
dada untuk memeluk hangat, dua orang sepuh yang mulai ringkih badannya.
Bayangan ideal setiap orang tua, tak
mustahil bisa terwujud pada saatnya kelak. Namun tak ada hasil datang secara ujug
ujug, semua musti melalui sebuah proses. Perjalanan orang tua mempersiapkan
putra putri, sedini usia menjadi fundamen yang penting. Para orang tua yang
ingin membentuk generasi penerus, musti memulai dari dirinya sendiri.
Ketika ruh belum ditiupkan dalam rahim
seorang ibu, alangkah eloknya sepasang suami istri membenahi diri. Mengisi dan
mempersiapkan diri, dengan keilmuan yang mumpuni. Saat janin masih bersemayam
di gua garba, peran penting parenting nyata dimulai. Mengajak anak
berkomunikasi, membelai dan mengelus lembut. Bisa menjadi cikal sang anak,
merasai curahan kasih sayang ibunya.
Perjalanan menjadi orang tua bagai
mendaki bukit, banyak tikungan dan jalanan terjal dilalui. Aneka lika liku lengkap
tersaji, memeras rasa dan raga demi perjuangan. Keayahan juga keibuan akan teruji,
setelah melampaui onak duri itu. Tanpa melewati perjuangan menguras energi dan
air mata, mustahil kekokohan kuda kuda orang tua akan terbentuk.
Buku berjudul "Matahari Odi
Bersinar Karena Maghfi", berisi keseharian penulisnya bersama tiga putra
putrinya. Sulung bernama Gifari bersama adik tengah Maghfira, kemudian menyusul
bungsunya Raudya (dipanggil Odi). Sang ibunda Neno Warisman, layaknya ibu pada
umumnya yang perhatian pada tiga buah hati. Mengajak tiga buah hati memaknai
kejadian, agar memiliki value yang bisa dipetik.
*****
Acara Parenting Journey di Ibf (dokpri) |
Kisah "Jatuh Cinta" Maghfi
pada Nabi Musa, cukup menggetarkan kalbu saya sebagai pembaca. Gadis kecil ini
kerap memohon ibunya, memperdengarkan kisah ini berulang ulang. Permintaan yang
disampaikan mulut sejatinya atas perintah otak, ajaibnya pengulangan ibarat proses
penebalan informasi. Semakin sering informasi (cerita) dikabarkan, semakin
menancap di benak si penerima.
Masa Golden
Opportunity pada anak terjadi, adalah hingga usia buah hati mencapai tujuh
tahun. Para pecinta pendidikkan menganjurkan, ada baiknya waktu dan ruang dilewatkan
berdua dengan anak secara bergantian (ayah dan ibu). Hal ini demi membangun
hubungan kedekatan dan mengesankan, hal itu harus "diciptakan" agar
anak nyaman. Kelak mampu menjadi bekal yang sangat berharga, dalam keserasian
hubungan juga bekal mengantar anak menggapai kesuksesan. , Subhanallah !!
Maghfi yang saat itu berusia lima tahun,
sedang menatap lembayung senja bersama ibunya. Tak lama kumandang Adzan maghrib
bergema "Ibu Wudhu dulu ya, nak..!
Gadis kecil menggeliat memungut boneka
yang jatuh, tetap duduk tak bergegas bangkit mengikuti langkah ibunya. Gadis ini
justru asyik dengan boneka di tangan, tampak sengaja ia bergeming. Mungkin juga
ingin menunjukkan bahwa sedang tidak tertarik, dengan ide shalat yang diajukan
ibunya.
Mungkin kejadiaan semacam ini dialami
banyak orang tua, saat mengajak anak anaknya menunaikan shalat. Akan tetapi,
mungkin belum belum banyak para orang tua, bersedia mengorbankan waktu untuk "sekedar"
menanamkan keinginan shalat dengan cara yang bijak. Tindakan yang banyak dilakukan
adalah dengan cara instan, marah, pokoknya ikut aturan, atau ancaman.
Pada kisah ini si ibu berangkat mengelus
hati, mulai dari tokoh yang dikagumi gadisnya yaitu Nabi Musa. Bagaimana Sang
Nabi yang dikagumi menomorsatukan Sang Pencipta, menjadi senjata ibu yang
gundah. Sampai bertumbuh keinginan melaksanakan kewajiban shalat, tanpa merasa
dipaksa apalagi "diintimidasi".
****
Neno Warisman yang memiliki background ilmu
teater, membangun keseharian di rumahnya cukup demokratis. Menghidupkan kisah
layaknya panggung drama, penuh naik turun emosi dan berdinamika. Sekecil hikmah
yang kadang sepele, tetapi menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Saya cukup
salut dengan pola komunikasi ibu dan anak, bisa menjadi teman berdiskusi untuk
banyak hal.
Kisah tentang permainan ular tangga yang
sederhana, menjadi entry point yang luar biasa. Satu anaknya sering kalah main
ular tangga, bahkan ketika hampir mencapai kotak berangka seratus. Ada jebakan
maut pada angka 98 terdapat ekor ular, sehingga pemain harus turun ke angka
yang lebih rendah. Konon Maghfi sering kecut hati, tak berhasil menghindari dua
kotak sebelum akhir. Alhasil sering kalah dan kalah dalam permainan, membuat
hatinya sedih bertambah sedih.
Layaknya sebuah pertempuran di medan peperangan,
kakak dan ibunya tak rela dengan situasi tak menguntungkan. Bertiga akhirnya membuat
kesepakatan, akan melibatkan Allah dalam segala hal. Langkah bidak kecil ular
tangga sudah di baris atas, tiba saat giliran Maghfi berjalan. Perlu tiga kotak
lagi untuk melangkah, kemenangan akan menyelamatkan perasaan gadis mungil ini. Yang
membuat berdebar adalah, satu kotak didepannya ada ekor ular yang memupus
harapan. Maka sebelum dadu dikocok ketiganya berdoa khusyu, agar angka yang keluar sepenuhnya berpihak
pada gadis cantik ini.
Detik ke detik berjalan begitu lambat,
jarum jam seperti ditarik ujung magnet. Setiap kocokan iramanya melambat,
seolah menampilkan gerakan slow motion
pada sebuah film. Wajah wajah yang menunggu dengan melongo, perasaanpun campur
aduk antara harap harap dan cemas. -KLUTIK- dadu terjatuh ke lantai, wajah
penasaran tak sabar melihat bulat kecil di sisi dadu. Ketiga pasang mata
melotot tak berkedip, tak mau sedetikpun kehilangan momentum berharga. Sampai akhirnya
tampak tiga titik kecil warna hitam, bergelempang di sisi dadu paling atas. Ibu
dan dua anak bersorak gembira, memecah belah udara di dalam ruangan. Konon itulah
kemenangan, yang menyelamatkan hati Maghfi.
Kunci yang musti digarisbawahi, jangan
sungkan melibatkan Allah dalam segala hal. Kini Maghfi sudah berada di bangku
kuliah, di sebuah Kampus Negri ternama yang susah sekali masuknya.
*****
Neno Warisman (dokpri) |
Perjalanan mejadi orang tua adalah
perjalanan kesejatian, perlu kesabaran ketekunan yang tak berbatas. "Kalau
tak sabar bukan orang tua namanya" ujar Neno.
Buku yang dilabeli Trilogi Opera
Keluarga, menjadi buku pertama bisa jadi akan berlanjut pada buku kedua dan
ketiga. Sejauh pengetahuan saya sudah tiga kali ganti cover, untuk sub judul
"Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi". Kisah yang diangkat sangat
wajar, namun disikapi dengan luar biasa. Saya sebagai ayah dengan dua anak,
merasa harus belajar banyak menggali ilmu pengasuhan. Sedikit yang saya koreksi
dari buku ini, sang ayah dimunculkan sangat minim. Mungkin ada pertimbangan
lain yang pembaca tidak tahu, tapi secara keseluruhan buku ini bagus. Menjadi referensi
bagi orang tua dengan anak masih kecil, untuk mempersiapkan buah hati beranjak
dewasa.
"Saya bukan pakar, dan tidak merasa
lebih pandai dari ayah dan bunda" Ujar Neno merendah "Apa yang diterapkan
pada anak saya, belum tentu cocok untuk anak lain".
Namun lebih jauh dari sekedar ahli atau
tidak, upaya belajar menjadi orang tua yang lebih baik itu point penting. Perjalanan
menjadi orang tua tak usai setelah anak mentas, bahkan ketika mereka sudah
menikah dan mempersembahkan cucu. Ayah dan ibu tetaplah orang tua, yang akan
melapangkan dada. Menerima dengan dua tangan terbuka, meraup setiap duka buah
hatinya. (salam)
Kalau tak sabar bukan orang tua namanya,... benar2 telak. Karena banyak ortu ngga sabaran tuh.... hehehehe.
BalasHapustrimakasih Bu Guru sudah berkunjung salam :)
Hapuswahhh perlu banget nih buku, makasih infonya ya mas...
BalasHapusSama-sama, semoga bermanfaat.
HapusSalam